Arsip untuk Mei, 2008

– POLITIKUS BUSUK & RAJA JIN

Monolog

Monolog karya Agus Noor ini pernah dimainkan oleh Butet Kartaredjasa, saat dimulainya Gerakan Anti Politisi Busuk, menjelang Pemilu 2004. Monolog ini dimainkan secara “garingan”. Itu istilah untuk pertunjukan monolog yang biasanya cuman dibacakan (atau paling banter dengan kostum dan properti sederhana untuk mendukung tampilan). Monolog ini, kemudian juga dibukukan dalam buku Matinya Toekang Kritik (Lamalera, 2006). File ini diturunkan dalam blog ini karena, saya rasa, masih relevan secara tema. Setidaknya untuk mengingatkan, betapa masih banyak politisi busuk yang ngangkangin republik ini.

Jangan percaya politikus, begitu seorang kawan bilang. Negeri ini memang tidak akan mungkin bisa bangkit dari keterpurukan bila kita mempercayai para politikus untuk mengelolanya. Menurut saya, politikus kita memang tidak akan pernah bisa berhasil mengatasi masalah bangsa ini. Politikus kita tidak pernah mampu menyelesaikan maslah. Karena politikus kita terbiasa menyelesaikan masalah dengan cara menambah-nambahi masalah.

“Kamu memang sisnisme sejati,” komentar seorang kawan. Kujawab, “Mungkin. Coba saja baca monolog ini…” Lanjutkan membaca ‘– POLITIKUS BUSUK & RAJA JIN’

– EKSPERIMENTASI DALAM CERPEN INDONESIA

Oleh Agus Noor

Pertumbuhan sastra berada dalam tegangan antara melakukan inovasi dan melanjutkan tradisi (literer) yang sudah tersedia. Begitu pun yang terjadi dalam pertumbuhan cerpen kita, yang ditandai dengan upaya pencarian atau ‘eksperimentasi’ untuk melakukan inovasi bentuk dan cara bercerita yang sudah ada, tetapi juga memiliki watak untuk ‘mempertahankan’ sekaligus melanjutkan bentuk dan cara bercerita yang sudah tersedia. Karena itulah, pertumbuhan cerpen kita memiliki benang merah pertumbuhan yang cukup kentara, simultan, sekaligus muncul pula upaya-upaya untuk melakukan inovasi atau eksperimentasi tema, bentuk, sampai gaya bercerita. Kita bisa menengok kecenderungan itu melalui kerangka periodisasi sastra yang kita kenal (dimana kita bisa melihat kecenderungan yang terjadi dalam cerpen kita pada periode waktu tertentu) untuk mengidentifikasi inovasi atau “eksperimentasi” apa saja yang dilakukan oleh para cerpenis kita. Lanjutkan membaca ‘– EKSPERIMENTASI DALAM CERPEN INDONESIA’

– NASKAH “SIDANG SUSILA”

– SERENADE KUNANG-KUNANG

“Serenade Kunang-kunang”-nya asyik. Mengingatkan aku pada apa ya? Pada sesuatu yg crispy, renyah dan manis. Namun selalu pengen nambah dan nambah lagi… (SMS dari +6218026736XX)

Pesan singkat itu menyelusup ke hpku. Nomor asing yang belum ku-save. Ia, rupanya mengomentari cerpeku yang muncul di Kompas Minggu, 18 Mei 2008, lalu. Aku jadi ingat pada rencanaku membukukan beberapa cerpenku, yang disertai komentar-komentar pendek, renyah dan karib semacam itu. Seringkali, komentar-komentar kecil dan hangat memang bertandang ke emailku, juga selularku. Dan aku berfikir, kenapa komentar- komentar itu tidak aku munculkan dalam bukuku, kelak?

Tetapi, memang, aku mesti minta izin terlebih dulu, pada para pengirimnya. Maka, dengan niat semacam itu, aku pun membalas SMS yang masuk jam 12.43 pm itu (artinya, ini jam bangun tidurku, kecuali mesti terpaksa bangun pagi). Alangkah terkejut, sekaligus sumringah, ketika tahu bahwa pengirim itu tiada lain sahabat kentalku dulu. Ruangan dengan tumpukan majalah dan buku, tikar dan kasur ringkat dimana kami biasa menidurkan letih, sengkarut mimpi masa muda…., tiba-tiba berkelindan dalam kepala: menyusun kenangan yang mendadak menjadi begitu berharga karena langka. Tak mudah kutemui kembali kehangatan dan kegairahan semacam dulu dengannya, dengan karibku itu – yang baiklah, atas seizinnya, tak perlu aku ungkapkan namanya dulu. Misteri adalah waktu yang membuat kita betah menunggu. Dan kenangan-kenangan itu, serta-merta kembali berterbangan seperti kunang-kunang, ketika ia bicara di telepon. Seperti yang kutulis dalam cerpen Serenade Kunang-kunang, maka begitu mendengar suaranya aku “teringat pada sepasang kunang-kunang yang melayang di atas kolam.”

Lalu SMS lain, dari nomor lain, muncul minta perhatian. “Aku br slesai bc cerpennya lo, mas..”, lalu ia cerita kalo 2 tahun lalu ia pun pernah jatuh cinta pada laki-laki, yang sudah beristri..

Duh, kunang-kunang, kenapa belakangan ini aku begitu terobsesi dengannya. Ada 4 cerita yang kini tengah aku kerjakan, yang memakai metafora kunang-kunang. Serenade Kunang-kunang ini adalah salah satunya. Lanjutkan membaca ‘– SERENADE KUNANG-KUNANG’

– TELEGRAM

Cerpen Agus Noor

SETELAH bertahun-tahun mengembara, ia pulang ke kamar kontrakannya. Di lantai ia lihat selembar telegram tergeletak, berdebu. Sepertinya telegram itu diselipkan begitu saja lewat celah bawah pintu. Dengan jengah ia raih telegram itu, menghempaskan tubuh ke kursi rotan reot, lantas menyobek dan membaca: Telah meninggal dunia dengan tenang titik. Ia mendesah. Hmm. Akhirnya mati juga.

Tanpa mandi dan ganti baju, segera ia raih kembali ranselnya, bergegas mengunci pintu. Tak hirau pandangan beberapa tetangga kamar yang memandanginya heran.

“Pergi lagi, Bang?”

Ia tak menjawab. Kenapa orang mesti peduli pada kepulangan dan kepergian? Mungkin karena setiap orang tak pernah terbebas dari bayangan kematian, sesuatu yang membuat orang-orang kemudian membayangkan tentang kepergian – pergi ke dunia lain. Dunia macam apa? Selama ini ia selalu pergi. Pergi dan pergi. Apakah ia sudah melihat dunia yang lain itu? Lanjutkan membaca ‘– TELEGRAM’

– CERPEN “KOMPAS” PILIHAN 1970-1980

Oleh: Agus Noor

Aku tidak siap menerima perubahan-perubahan hidup yang tiba-tiba…

KUTIPAN di atas dipetik dari cerpen “Gamelan pun Telah Lama Berhenti” (Faisal Baraas), yang merupakan satu diantara 53 cerpen yang ada dalam antologi Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980: Dua Kelamin bagi Midin. Kutipan itu, seakan-akan, menjadi representasi tekstual dari cerpen-cerpen yang terhimpun dalam kumpulan itu, yang mengisyaratkan adanya “tragisme” yang terus-menerus direproduksi dalam sastra kita. Suatu “tragisme” yang merupakan kegagalan dan ketidakberdayaan “aku naratif” atau tokoh-tokoh yang hidup dalam cerita-cerita itu ketika bersikeras memahami dan menghadapi perubahan sosial yang dihadapinya. “Tragisme” itu, pun mengisyaratkan adanya kaitan kontekstual, antara teks-cerita dengan lingkungan sosial dimana cerpen-cerpen itu ditulis.

Simaklah deskripsi Oei Sien Tjwan, dalam cerpen “Serantang Kangkung” (hal. 222) ini: Udara siang di desaku biasanya tak pernah berdamai dengan siapa pun, kecuali dengan orang-orang kaya. Terasa tragis, bukan? ‘Udara’, yang mestinya tak memiliki pemihakkan kelas sosial, terasa berbeda kesejukannya bagi yang miskin dan kaya. Tapi ‘udara’ bisa juga dibaca sebagai suasana, keadaan, dimana nilai-nilai tidak sepenuhnya netral, karena ada kekuatan-kekuatan yang ikut mempengaruhi keadaan dan suasana “udara” yang dihirup itu.

Menjadi pertanyaan menarik, kenapa “tragisme” itu muncul berulang-ulang? Lanjutkan membaca ‘– CERPEN “KOMPAS” PILIHAN 1970-1980’

– HIKAYAT ANJING

Cerpen Agus Noor

IBU adalah anjing.

Dengarlah, ia selalu mengeram dan menggonggong. “Ambilkan kutang Ibu, anak anjing! Cepat!” Kau dengar, ia memanggilku ‘anak anjing’, selalu, sambil menyemprotkan ludahnya yang kental bacin ke mukaku. Kau pasti tahu, anak anjing dilahirkan anjing. Yeah, setidaknya aku tidak pernah dengar ada manusia beranak anjing. Jadi, kalau aku anjing, Ibu pasti juga anjing.

Pun lihatlah cara Ibu makan: kedua kakinya ngangkang di atas meja, mendengus nanar, kemudian menyorongkan mulutnya ke piring. Dalam sekejap, nasi basi itu tandas dijilat lidah merah panjang Ibu. Dan selalu, setelah itu, Ibu langsung kencing ke piring, dengan satu kaki terangkat nungging. Lantas, glek glek glek, lahap menenggak. Aku selalu terpukau oleh kesopanan itu. Sementara Ibu hanya menyeringai dengan sisa kencing menetes-netes di sela moncongnya.

Ibu memang anjing. Hanya anjing yang berkelamin dengan sembarang laki-laki. Hampir setiap malam Ibu berkelamin dengan puluhan laki-laki, berganti-ganti. Dari tampang yang kucel berjambang dan mesum, semua laki-laki yang datang malam-malam ke kamar Ibu, pastilah anjing juga. Kalau toh mereka manusia, aku yakin, pada dahulu kala — sebelum bereinkarnasi jadi manusia — para laki-laki itu mestilah hidup sebagai anjing. Anjing kawin dengan anjing, kukira memang jamak. Lanjutkan membaca ‘– HIKAYAT ANJING’

– BOUQUET

Cerpen Agus Noor

BESOK Mona ulang tahun. Otok ingin memberinya hadiah istimewa. Sesuatu yang bisa mengungkapkan betapa ia sangat mencintainya. Sudah sepuluh tahun mereka menikah, ditambah enam tahun masa pacaran, tetapi Otok selalu tak peduli pada tetek bengek perkara ulang tahun. Baik ulang tahun Mona, lebih-lebih ulang tahun dirinya. Bila diundang pesta ulang tahun, Otok bahkan mencibir: ngapain pakai pesta segala. Ia selalu tak habis pikir, kenapa orang mesti memperingati hari kelahirannya. Pakai pesta lagi. Bukahkah mestinya kita menyesali kelahiran kita di dunia yang begini celaka?! Lanjutkan membaca ‘– BOUQUET’

– KUPU-KUPU SERIBU PELURU

Cerpen Agus Noor

BAGAIMANAKAH kami mesti mengenang perempuan buta itu – yang liang selangkangnya bengkak karena dosa, dan sekujur tubuhnya bergetah nanah kena kusta! Adakah ia sundal ataukah santa?

RASANYA belum lama lewat. Selepas hujan tengah malam, sebelum sulur cahaya fajar mekar, seorang peronda terkesiap gemetar: di dekat kandang kuda samping gereja, ia melihat gadis kecil menggigil, bugil, seperti peri mungil yang usil hendak menakut-nakutinya. Segera ia tabuh kentongan yang dibawanya. Dan puluhan warga seketika terjaga, juga bapak pendeta. Setelah kepanikan mendengung bersahut-sahutan, perlahan-lahan suasana jadi tenang, dan mereka pun segera mendekati gadis kecil yang ketakutan serta kedinginan itu. Dengan lembut bapak pendeta menyelimutkan jubahnya ke tubuh gadis kecil itu, sembari berbisik perlahan, “Domba kecilku…” Ia terpesona oleh mata bening si gadis kecil.

Ketika pagi yang lembut terasa seperti hosti, warga kota pun mulai mengerti: betapa kota mereka yang tenang seakan-akan telah terbekati. Gadis kecil itu telah dikirim dari langit untuk membuat hidup mereka yang tenang menjadi lebih riang. Kemudian, ketika duduk-duduk di kedai kopi, beberapa orang mulai bercerita perihal mimpi yang mendatangi mereka malam-malam sebelumnya. Seseorang mengatakan, kalau ia bermimpi melihat gugusan bintang cemerlang menaungi kota. Seorang lagi bercerita bahwa ia bermimpi melihat sekawanan bangau bersayap cahaya terbang melintasi kota mereka. Seseorang yang lain menceritakan pijar api biru yang dilihatnya meluncur dari langit menuju atap gereja. Yang lain menambahi, betapa ia sesungguhnya sudah merasakan tanda-tanda keajaban ini sebelumnya, ketika ia melihat bunga-bunga di halaman rumahnya bermekaran begitu indah melebihi biasanya.

“Dan kau tahu…,” seseorang berkata penuh senyuman. “Aku bahkan sudah merasakan kehadirannya, ketika seluruh kudis di tubuhku tiba-tiba mengering dan mengelupas. Saat itu aku merasakan ada hembus lembut yang berkali-kali meniup-niup kulitku. Aku yakin, itulah nafas lembut bidadari kecil itu…” Wajahnya begitu cerah, seperti seseorang yang begitu percaya betapa Tuhan barusan mengampuni seluruh dosa-dosanya. Kemudian seseorang yang bermulut murung langsung menimbrung, “Ya, saya juga merasa, ketika tahu genjik saya yang baru lahir berkaki lima!”

Kisah-kisah ajaib bermekaran, membuat percakapan di kedai kopi yang biasanya berlangsung datar membosankan menjadi lebih bergairah. Para pembual dan tukang cerita seperti menemukan kesempatan untuk mengembangkan imajinasinya. Lanjutkan membaca ‘– KUPU-KUPU SERIBU PELURU’


Point your camera phone at the QR code below : qrcode enter this URL on your mobile : http://buzzcity.mobi/agusnoorfiles
Mei 2008
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031  

Archives Files

Catagories of Files