IBU adalah anjing.
Dengarlah, ia selalu mengeram dan menggonggong. “Ambilkan kutang Ibu, anak anjing! Cepat!” Kau dengar, ia memanggilku ‘anak anjing’, selalu, sambil menyemprotkan ludahnya yang kental bacin ke mukaku. Kau pasti tahu, anak anjing dilahirkan anjing. Yeah, setidaknya aku tidak pernah dengar ada manusia beranak anjing. Jadi, kalau aku anjing, Ibu pasti juga anjing.
Pun lihatlah cara Ibu makan: kedua kakinya ngangkang di atas meja, mendengus nanar, kemudian menyorongkan mulutnya ke piring. Dalam sekejap, nasi basi itu tandas dijilat lidah merah panjang Ibu. Dan selalu, setelah itu, Ibu langsung kencing ke piring, dengan satu kaki terangkat nungging. Lantas, glek glek glek, lahap menenggak. Aku selalu terpukau oleh kesopanan itu. Sementara Ibu hanya menyeringai dengan sisa kencing menetes-netes di sela moncongnya.
Ibu memang anjing. Hanya anjing yang berkelamin dengan sembarang laki-laki. Hampir setiap malam Ibu berkelamin dengan puluhan laki-laki, berganti-ganti. Dari tampang yang kucel berjambang dan mesum, semua laki-laki yang datang malam-malam ke kamar Ibu, pastilah anjing juga. Kalau toh mereka manusia, aku yakin, pada dahulu kala — sebelum bereinkarnasi jadi manusia — para laki-laki itu mestilah hidup sebagai anjing. Anjing kawin dengan anjing, kukira memang jamak.
Kalau aku benci mereka, itu bukan karena mereka anjing. Karena bagaimana pun, aku toh anak anjing. Tetapi kelakuan mereka yang jorok dan tak senonoh, selalu membuatku mual. Semua laki-laki itu suka berteriak dan selalu mobok. Membuat rumah begitu riuh. Meja kursi berantakan. Mereka berak di sembarang tempat, persis seperti mereka membuang puntung rokok. Di lantai berserakan kulit kacang. Botol-botol kosong bergelimpangan. Juga dahak dan muntahan yang mengering. Benar-benar kandang anjing yang tak terawat. Busuk penuh lalat.
Apabila hari meremang, dan ada laki-laki datang, Ibu segera menghardikku, “Pergi sana!” Dan laki-laki itu akan memandangku dengan aneh, setengah menyeringai setengah terkekeh.
Sementara Ibu mendekam dalam kamar, aku berkitaran di halaman. Kadang aku cuma duduk atau rebahan di bangku bambu, memandangi kerlip bintang, membayangkan apa saja yang bisa membuatku tak terlalu merasa bosan. Sementara dari kamar Ibu, aku selalu mendengar suara lenguh dan desah, yang membuatku gelisah. Suara-suara itu membakar imajinasi. Membuatku selalu terdorong keinginan untuk tahu apa yang dilakukan Ibu. Suara itu, ah, suara itu…
***
SUATU malam, lantaran tak tahan, aku mengintip lewat sela jendela. Dan betapa menakjubkan! Aku melihat dua ekor anjing saling bergumul bergelut, saling gigit, mengerang hingga bulu-bulunya meriap dan ekornya mengeras. Lebih menakjubkan lagi, aku melihat cahaya merah keemasan memancar dari selangkangan Ibu. Aku terpukau cahaya itu, begitu lembut, membuatku terhanyut. Saat itu aku membayangkan, cahaya itu tentulah bukan sembarang cahaya. Begitu mempesona. Pastilah itu cahaya sorga. Setidaknya itu cahaya yang menerangi jalan menuju sorga.
Boleh jadi karena naluri anjingnya, Ibu tahu kelakuanku. “Dasar kirik tak tahu malu!” Ia menghajarku. Dihantamnya kaki kiriku dengan lonjoran kayu hingga sengkleh.
Sejak itu, aku tak berani lagi mengintip kamar Ibu bila ada tamu. Apabila ada laki-laki datang, aku memilih pergi menjauhi rumah. Aku berjalan, terseok-seok dengan kaki kiri pincang, membisu menembus kelam dan udara basah, dengan kesedihan dan kemarahan. Kadang aku terisak, entah kenapa dan untuk apa. Aku berjalan, terus berjalan, kemana saja. Menyaksikan gang-gang gelap menganga bagai sarang ribuan ular beludak. Bila lelah, aku rebah di emperan toko. Kalau lapar, aku segera menuju tempat sampah. Kukais sisa tulang dan nasi lembek. Kadang kutemukan remah kepala bandeng atau gurami bakar. Aku suka kepala itu, karena selalu mengingatkan pada Ibu. Andai kepala itu kepala Ibu, ah, alangkah nikmat menggeramus dan memamahnya. Alangkah sedap melahap kepala Ibu. Aku dengar, kepala anjing bagus buat jamu. Di masak utuh hingga empuk, dijadikan tengkleng atau tongseng. Kaldunya dibikin kuah sop atau soto, sementara otaknya bisa diseruput buat nambah kejantanan.
Aku tak pernah menduga, betapa Ibu akan mencium bau pikiranku itu. Saat aku pulang, Ibu mengangkang di depan pintu. Tanpa babibu, ia langsung menyerangku. Mencakar dan menggigit telingaku sampai putus.
“Hanya anjing yang punya pikiran hendak mencelakakan ibu yang telah melahirkannya!”
Ibu terung meraung. Para tetangga hanya menonton kami lewat celah pintu atau jendela yang sedikit terbuka. Hanya karena kelelahan, Ibu berhenti melumatku. Sungguh anjing yang terlatih. Bahkan pikiranku pun mampu diendusnya. Anjing pelacak paling baik pun aku kira tak akan mampu mengendus pikiran.
Setelah kejadian itu, sepanjang malam Ibu mendekam dalam kamar. Meski puluhan laki-laki mengetuk pintu, Ibu tetap mengunci. Aku mendengar suara isak tertahan, merembes dari kamar. Aku bersandar di dinding, sementara puluhan laki-laki itu terus mengetuk pintu kamar Ibu, sambil sesekali menatapku yang tak perduli. Sambil menyelonjorkan kakiku yang penat dan pegal, kutimang-timang daun telingaku yang putus digigit Ibu.
Kukira aku memang terlalu. Bagaimana pun aku tak boleh membenci ibu yang telah melahirkanku. Aku menyesal. Ingin kuketuk pintu kamar Ibu, dan berharap ia mau membukanya. Aku ingin sujud di hadapannya, menghirup wangi sorga di telapak kakinya, hingga aku tak lagi merasa berdosa. Mestinya begitu. Tapi aku begitu lelah. Begitu capai. Lunglai.
Aku tertidur.
Ada dekapan hangat, dan kurasakan tubuhku diangkat. Aku belum terlalu lelap, hingga aku tahu itu Ibu. Tapi aku tetap memejam, dan karenanya Ibu menyangka aku sudah pulas. Kurasakan tangan lembut Ibu membelai keningku; isak tertahan Ibu membuat jari-jarinya gemetar. Pelan menyisir rambutku yang berantakan. Nafas hangat Ibu menghembus pipiku. Bayangan wajah Ibu begitu dekat. Bisa kurasakan tatapan Ibu yang sebak air mata, membuatku terhanyut kelengangan yang dalam dan panjang. Isak Ibu mengambang. Dan sesekali, air matanya nitik ke wajahku. Hangat. Meresap mengusap jantungku. Lekat.
***
YA, Ibu memang anjing. Tapi kau pun tahu, anjing bisa juga sedih, menjilati anaknya dengan kasih. Aku tahu Ibu mencintaiku, sebagaimana galibnya seorang ibu mencintai anak yang lahir dari rahimnya; melindungi dari apa pun yang menggangunya. Tak pernah kulupa, betapa Ibu langsung meraung mengobrak-abrik rumah tetangga, ketika ia mendengar aku dimaki anak jadah.
“Tak ada hak mereka mengata-ngatai kamu anak jadah, hanya karena kamu tak punya Ayah!”
“Mereka juga bilang aku anak sundal, Ibu!”
“Mereka mesti diberi pelajaran agar tak bicara seperti anjing!”
Ibu mengamuk. Hingga para tetangga gemetar pucat.
“Akan kubunuh siapa pun yang mengatakan aku lonthe dan anakku anak sundal. Kalian dengar!”
Para tetangga bergegas menutup pintu. Sejak itu mereka jengah bila berpapasan denganku — seakan aku anjing berpenyakit rabies yang bisa serta merta menggigit dan mencederai mereka.
Sesungguhnya Ibu anjing yang baik, batinku. Betapa pun ia sangat mencintaiku. Namun aku selalu saja merasa asing setiap kali dekat Ibu. Ia terus menggigit dan menyerangku, tanpa pernah aku tahu apa sebenarnya kesalahanku. Mesti mencintai, Ibu sepertinya ingin melumatku. Ah, cinta macam apakah itu? Bahkan Ibu nampak selalu memperlihatkan sikap memusuhiku — yang terasa sebagai upaya menutupi cintanya padaku. Apakah setiap ibu memang begitu? Mencintai dan mengasihi, siap melakukan apa pun untuk anaknya, sekaligus siap pula untuk menghabisinya? Aku belajar untuk tak membenci Ibu, karena aku tahu Ibu mencintaiku. Kasih Ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa1 ….
Betapa aku mencitamu, Ibu, meski selalu saja aku merasa asing denganmu. Aku selalu ditangkup rindu, bila berhari-hari Ibu pergi bersama laki-laki. Rumah begitu sunyi tanpa Ibu. Aku kangen erang Ibu; ketika melengus, ketika mendesah, ketika melolong, ketika meradang. Kusadari betapa berartinya makian-makian Ibu bagiku. Tanpa itu aku merasakan ada sesuatu yang hilang dari diriku. Jawaku ampang.
Suatu kali, saking kangen aku pada Ibu, aku memberanikan diri masuk kamarnya. O, bau tubuh Ibu menyergap penciumanku, bersama sengak debu dan bau sperma kering — yang kulihat belepotan di bantal dan ranjang yang spreinya berantakan. Kamar Ibu begitu apek. Pengap dan lembab. Lalat mengerubung darah setengah kering di pembalut yang teronggok di atas meja rias yang pecah kacanya. Kuperhatikan sebuah foto tergantung di dinding: kusam, kecoklatan, memudar. Tapi masih membias bayangan wajah laki-laki bermata kelam, dengan alis melengkung dan dagu licin Di bawahnya, di antara lis putih foto dan bingkai hitam figura, aku baca tulisan spidol merah: KAMU BENAR-BENAR ANJING!!
Foto itu lebih kutatap cermat. Memang, samar-samar, raut yang tak jelas itu mengesankan sosok anjing. Tadinya, kukira itu foto Ayah. Nyatanya foto anjing.
Anjing menyimpan gambar anjing, kukira tak ada yang istimewa. Sama wajarnya seperti Ibu setiap malam berkelamin dengan puluhan laki-laki. Hanya saja — entah kenapa — sejak melihat foto di kamar Ibu aku jadi lebih seksama memperhatikan wajah para laki-laki itu. Siapa tahu ada yang wajahnya mirip dengan raut anjing dalam foto itu. Sering aku membandingkan raut anjing itu dengan wajahku. Karena itukah aku jadi begitu berharap menemukan raut anjing itu pada puluhan laki-laki yang berkelamin dengan Ibu? Yeah, kalau memang ada yang mirip dengan raut anjing itu, lalu mau apa? Memanggilnya, “Ayah!” Begitu?
Ayah. Apakah setiap anak memang mesti punya Ayah. Memang aku selalu gamang, ada liang kesedihan menganga, setiap menyadari aku tak pernah melihat Ayah. Lalu sering kususun bayangan Ayah: bermoncong tajam, dengan taring melengkung dan lidah selalu terjulur. Sementara daun telinganya tegak lancip dengan bulu-bulu halus berwarna abu-abu. Ayah, alangkah gagahnya engkau. Bahumu yang dulu kekar legam terbakar matahari, kini kurus dan terbungkuk.2 Ah, Ayah. Ayah. Ayaahh. Kuigaui Ayah. Kucari engkau di stasiun dan terminal. Atau siapa tahu engkau meringkuk di pojok pasar, renta dan tua. Dimanakah engkau Ayah. Dimana akan kucari, daku menangis seorang diri. Hatiku selalu ingin bertemu Untukmu, aku bernyanyi3…. Kusenandungkan letih pencarian. Kususur kepedihan. Sepanjang malam aku gentayangan mencari Ayah, menyusuri kota yang lelap dengan cahaya gemerlap. Kuperhatikan anjing-anjing yang berkeliaran. Aku jadi menyadari, betapa banyaknya anjing-anjing berkeliaran di kota ini bila malam. Mereka muncul dari rimbun kelam. Mereka melolong, berkejaran, kawin dan beranak dalam gelap. Sembari terus menyenandungkan kesedihan, kuamati anjing-anjing itu. Siapa tahu aku ketemu Ayah.
***
AKU berdiri di bawah lindap bayang dinding gedung menjulang, mengamati anjing-anjing yang berkeliaran itu. Tanpa pernah menyadari, ada seekor anjing menatap nyalang ke arahku.
“Kuamati, beberapa malam ini dikau memandangi kami dengan sendu. Ada apakah gerangan, anak muda?” Tahu-tahu, seekor anjing tua telah berdiri di hadapanku.
Aku mendesah. Adakah ini Ayah?
“Kukira dikau tak hendak membunuh salah satu di antara kami. Aku merasa dikau tengah mencari sesuatu.”
“Ya. Aku mencari Ayah.”
“Apakah Ayahmu anjing?”
“Mungkin.”
“Ya. Hanya anjing yang tak perduli pada anaknya.” Anjing itu melenguh. “Lalu apa yang akan dikau lakukan bilamana bertemu Ayahmu?”
Aku membisu. Uh, apa yang akan kulakukan andai sudah bersua Ayah? Seperti adegan film, begitu? Dalam slow motion Ayah berlari menyongsongku yang tengah berteriak memanggil dan menghambur ke pelukannya, lalu kami saling peluk, erat. Aku bergelanyut di pundak ayah, berputaran setengah melayang sambil sesungukan, mencurahkan seluruh rindu dendam kami. Ataukah kami hanya akan saling diam berhadapan, bertatapan nanar, sementara pisau di sebalik pinggang siap untuk saling dihunjamkan. Dan, srekk, dengan cepat pisau membedah perut. Kami terhuyung, limbung, menyeringai dan terkekeh. Atau bisa jadi kami hanya saling pandang, membisu, berjam-jam. Sampai kemudian pergi begitu saja. Tanpa sapa. Tapa kata-kata.
Untuk semua itukah aku mencari Ayah? Atau sekadar ingin tahu, seperti apa rupa Ayah? Entahlah. Kadang aku sendiri ragu, apa perlunya mengetahui siapa Ayah. Ibu anjing, dan Ayah pastilah juga anjing. Adakah engkau pernah mendengar anjing kawin dengan manusia? Selama ini kucari Ayah, barangkali karena iseng saja. Sekadar usaha agar aku tak terlalu merasa hampa.
Kuelus kepala anjing itu. Matanya sayu, menatapku. Barangkali ia memang Ayah. Aku beringsut, dan kembali berjalan menembus malam yang temaram. Kusadari, langkahku yang gontai membuat pinggulku bergoyang-goyang, persis seekor anjing kelelahan berjalan. Kukira, aku memang anjing. Seperti Ibu dan Ayahku.
Yogyakarta 1998-1999
Nahh…ini cerpen asik banget! Para tokoh di dalamnya bisa di set sesuai imajinasi yang baca: apa anjing yang bertingkah seperti manusia, atau manusia yang berpolah seperti anjing.
suatu kejadian yg bila dicermati akan terasa bahwa sebenernya manusia itu apakah sifatnya seperti anjing ato anjing yg bersifat seperti manusia??? Apakah dunia sdh akan berakhir???
kemarahan dan kesedihan seekor anjing atau manusia bisa sama?