ANJING DAN BIR KESEMBILAN
Djenar Maesa Ayu
Dari balik kegelapan
mata malam itu nyalang,
menatap seekor anjing
yang hidup dalam sebotol bir.
“Anjing ini,” katamu,
“anak jadah pengkhianatan kita.”
Lalu kita suling arak api,
menjadi keganjilan
yang hanya kita pahami sendiri.
Selebihnya, hanya birahi
taklid pada sepi.
Kita akan mengingat:
pantai menyimpan gelap,
dusta yang tak terduga.
Perlahan kita memendam birahi,
yang lebih sunyi dari mata orang mati.
Kita menulis dengan kekosongan
dan tangan gamang.
Kata-kata adalah onggokan tulang-belulang
yang telah jadi arang.
Dan dengan arang kata-kata ,
di tembok kota
kita menuliskan grafiti,
tapi nyerinya menyayat jantung sendiri.
Di bawah bulan yang ganjil
(seperti mata juling pengidap kusta, katamu)
anjing dalam botol bir
menatap marah ke arah kita;
dua pendusta yang bersikeras percaya
pada kebaikan dunia.
“Sebuah kota
yang seluruh penduduknya
terserang anjing gila,
mungkin menarik sebagai cerita.”
Tapi di kota penuh pendusta,
siapa lebih jadah:
anjing gila ataukah kita?
Lalu aku bercerita tentang revolusi.
Revolusi adalah anjing
yang memakan kesedihan
anak-anaknya sendiri.
“Saat ini aku tak butuh revolusi,” katamu.
“Aku butuh pembalut. Aku lagi menstruasi.”
Kujawab: itu menyedihkan bagi laki-laki.
Seolah lidah saling bersentuhan,
pikiran kita yang basah menjelajahi
langit; kuburan bermilyar galaxy mati.
Kau menunjuk:
sembilan bintang terang,
rasi yang belum terkenali.
“Barangkali, bintang itu menandai,
kelak, kita mati sebagai Wali”
Tapi, tak seperti perjamun penghabisan,
pada botol bir kesembilan
aku menjauh dari pantai.
Meninggalkanmu sendiri.
Di kejauhan silhuet kota gemerlapan.
Terdengar ribuan anjing melolong,
dalam jantungku.
2013
kereeeenn mas..
Pedih yang temaram. Mengapa cinta tak bisa sederhana kadang? 🙂 selamat atas puisinya.
Puisinya sangat membangkitkan semangat!
Good Work!
Please visit us:
http://www.holis-satriawan.com/puisi/puisiku.html
Is it a poem written by Agus Noor or written by Djenar Maesa Ayu?