– PEMENTASAN “TANGIS” TEATER GANDRIK

IMG_20150207_135314

 

TEATER GANDRIK, akan manggung mementaskan lakon Tangis, pada 11-12 Februari 2015 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, kemudian dilanjutkan dengan pementasan di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta, 20-21 Februari 2015. Inilah lakon, yang pada awalnya ditulis oleh (Alm) Heru Kesawa Murti, dan karena itu pementasan Teater Gandrik ini mempunyai makna yang spesial. Saya, kemudian mengembangkannya. Tangis berlatar perusahaan batik milik Juragan Abiyoso menyimpan banyak masalah. Perusahan batik yang sukses itu perlahan-lahan mengalami kebangkrutan. Banyak spekulasi perihal apa yang menyebabkan trah Juragan Abiyoso itu berantakan. Pak Dulang, seorang dalang, menceritakan tentang “canting pusaka” milik Juragan Abiyoso yang kabarnya hilang. Berkat “canting pusaka” itulah konon kabarnya Abiyoso bisa sukses menjadi juragan batik. Kini, rumah sekaligus pabrik batik itu menyimpan banyak misteri. Bahkan kabarnya berhantu. Suatu kali, seorang buruh pabrik batik bernama Sumir mendadak menghilang dan dikabarkan mati sebagai tumbal.

Tapi ada juga yang mengatakan kalau awal mula kejatuhan Abiyoso mulai terlihat pada saat juragan batik dan tokoh yang dihormati itu telah memasuki usia senja, dan ia mesti merelakan kepemimpinannya pada yang lebih muda. Ia harus memilih, antara Prasojo dan Pangajab, di tengah berbagai konflik yang muncul akibat persaingan kedua orang itu. Prasojo, adalah anak sahabatnya yang meninggal dunia karena bunuh diri, saat berbagai kasus — tuduhan korupsi, kebocoran anggaran sampai penggelapan pajak — menimpa perusahaan batik yang dikelolanya. Sementara Pangajab, adalah anak kandungnya, yang justru tidak terlalu dipercaya oleh Abiyoso.

Kisah ini memang berlatar belakang perusahaan batik dan konflik keluarga, tetapi sesungguhnya ia menjadi elegori situasi yang lebih besar: soal hasrat untuk memperoleh kekuasaan, ambisi sekaligus kerapuhan, intrik dan persaingan, juga kepercayaan dan pengkhianatan. “Seorang yang kalah bisa kalap, dan tak lagi mempedulikan harga diri dan kehormatannya,” ujar satu tokoh dalam lakon ini. “Orang rela melakukan apa pun agar bisa selamat”. Termasuk menangis.

 

Penulis Teater Gandrik

Heru Kesawa Murti, sebagai salah satu eksponen yang sejak awal terlibat dalam Teater Gandrik, memang nyaris tak bisa dipisahkan sebagai seseorang yang ikut membentuk proses estetis Teater Gandrik. Memilih lakon Tangis, sebagai naskah awal karya Heru Kesawa Murti yang akan dipentaskan, juga menjadi pilihan menarik, yang memperlihatkan “retrospeksi estetik Gandrik” terhadap apa yang telah mereka kerjakan, sekaligus memberi semacam penghargaan pada Heru sebagai seorang penulis lakon-lakon Gandrik. Ini juga bisa menjelaskan: betapa penulis dalam Teater Gandrik memang punya posisi yang unik.

Saya ingat pertemuan terakhir kali saya dengan Heru Kesawa Murti. Malam itu, para anggota Teater Gandrik, berkumpul di rumah Butet Kartaradjasa. Suasana penuh canda, membicarakan hal yang serius tapi juga tak lepas saling ejek. Memang selalu begitulah tabiat kawan-kawan Teater Gandrik setiap kali bertemu. Cara mereka bercanda dengan saling ledek, seringkali memunculkan ide-ide yang terasa menyentil, yang kemudian muncul di panggung, saat mereka memainkan sebuah lakon. Suasana pergaulan penuh canda itulah, yang juga membuat proses penulisan naskah, dan proses mewujudkannya ke atas panggung, menjadi sesuatu yang cair dan sangat fleksible; penulis tak hanya menyelesaikan naskah dalam wilayah kreatif prbadinya, tapi merespon ide-ide yang terus berkembang dalam latihan.

Pertemuan malam itu membahas rencana Teater Gandrik mendukung pementasan Indonesia Kita, yang mengangkat tema lingkungan. Ada satu lakon yang ditulis Heru Kesawa Murti, yang rasanya masih relevan dengan tema itu, yakni Dhemit, yang berkisah soal penggusuran lingkungan yang hendak dijadikan pabrik. Heru sangat antusias, dan bersedia menulis ulang lakon itu, agar makin relevan (begitlah, naskah bagi teater gandrik bukan sesuatu yang final di atas teks, mesti juga terus-menerus dikembangkan, kontektual dan bisa memenuhi kebutuhan artistik yang diharapkan). Tapi kawan-kawan yang lain meledeknya, “Tapi ini waktunya terbatas lho. Mesti cepet nulisnya. Sanggup tidak?” begitu Susilo Nugroho, salah satu aktor Gandrik, mencandai Heru. Belakangan, karena faktor kesehatan, intensitas menulis Heru Kesawa Murti memang menjadi lamban. “Nanti kamu malah stress, malah sakit karena merasa diburu-buru. Kalau nggak sanggup bilang saja, masih banyak yang sanggup nulis.”

Mendengar itu, Heru hanya kalem. “Sebagai penulis, saya itu selalu mendukung pertumbuhan penulis-penuls baru. Kalau saya tidak bisa, ya pasti ada yang melanjutkan. Tidak seperti kalian, para aktor, yang selalu tidak rela kalau ada anak muda yang tumbuh. Begitu ada bakat aktor yang bagus mau tumbuh, pasti sudah kalian pites, sudah kalian pateni — kalian matikan. Makanya aktor-aktor baru Teater Gandrik seret, susah, pertumbuhannya.” Semua yang mendengar tertawa. “Dua hari lagi, naskah saya rampungkan!”

Tapi, sehari kemudian, tepatnya pada 1 Agustus 2011, Heru Kesawa Murti meninggal dunia. Kabar yang mengejutkan. Masih terngiang semua candaan malam sebelumnya. Teater Gandrik benar-benar kehilangan, dan juga dunia teater Indonesia. Naskah-naskah yang ditulis Heru telah memberi ruang bagi Teater Gandrik untuk menemukan pola plesetan yang kemudian menjadi ciri khas teater itu. Kita tahu, sejak Gandrik berdiri banyak memainkan naskah yang ditulis Heru, seperti Kesandung, Meh, Pasar Seret, Pensiunan, Sinden, Isyu, Dhemit, Flu, Kera-Kera, Juragan Abiyoso, Khayangan Goyang, Buruk Muka Cermin Dijual, Juru Kunci, Flu, Tangis, Upeti, Orde Tabung, Proyek, Mas Tom, Departemen Borok, Pandol.

Apa yang Heru katakan, bahwa ia “selalu mendukung munculnya penulis yang lebih muda dalam Gandrik”, memang dibuktikannya. Saya, yang sekitar tahun 1989, mulai bersentuhan dengan lingkungan pergaulan Teater Gandrik, sangat merasakan itu, dan bahkan tak berlebihan bila saya mengucapkan terimakasih kepadanya dengan rasa hormat. Setelah lumayan lama vakum di tahun 1988-1990an, Teater Gandrik berniat untuk membuat lagi lakon pertunjukan. Saat itu era reformasi, saat keterbukaan dianggap mulai mewarnai dunia kreativitas di tengah perubahan konstelasi politik di Indonesia. Dalam situasi seperti itu, muncul kegelisahan, apakah yang bisa dilakukan lagi oleh Teater Gandrik? Gaya sindiran atau sentilan Teater Gandrik, yang tak hanya nyelekit tetapi juga seringkali bernas, rasanya menghadapi tantangan tersendiri di era yang lebih terbuka dan “lebih berani”.

 

Teater Gandrik dan Politik

Perlu diingat, di bawah rezim Orde Baru tahun 1980an, ketika sensor masih begitu kuat, diperlukan strategi untuk menyampaikan kritik, agar pertunjukan bisa terlaksana (dan karena itu kritik/pesan “perlawanan” tersampaikan), juga bisa seminimal mungkin menghindarkan diri dari bahaya dan resiko konyol. Guyonan yang dikemas dalam semangat parikeno, menjadi tearasa pas dalam situasi penuh tekanan dan sensor, yang kemudian “memberi berkah” (karena memang semua terjadi begitu saja dalam proses, bukan sesuatu yang dikonseptualisasikan sejak awal) pada bentuk-bentuk pemanggungan Teater Gandrik, yang kemudian dikenal sebagai “teater sampakan”.

Situasi yang berubah, mengimplikasikan tantangan-tantangan estetis yang berubah pula. Kira-kira begitu yang menjadi renungan kawan-kawan Teater Gandrik, dan untuk itu mereka mencoba mengajak penulis lain, di luar Heru Kesawa Murti yang sudah begitu identik dengan lakon Teater Gandrik. Kemudian, dengan terbuka Heru Kesawa Murti bersama-sama menulis lakon Brigade Maling dengan Indra Tranggono dan saya. Lakon ini bahkan sempat dipentaskan Teater Gandrik di Melbourne, Australia.

Selama proses pementasan Brigade Maling itulah, saya kian memahahi bagaimana posisi dan peran penting Heru Kesawa Murti, dalam Teater Gandrik. Saat itu, saya bahkan sempat membatin: apakah “ruh kepenulisan” Heru, yang terasa inheren dalam pencapaian pentas-pentas Teater Gandrik, akan bisa digantikan oleh penulis lain? Saya kadang menjadi kawan ngobrol Heru, ketika ia belakangan terus menulis naskah untuk Gandrik, seperti lakon Pandol. Ia begitu terbuka pada ide-ide, tidak kaku, meski pun selalu bisa berkelit dengan gaya guyonannya. Ketika saya “memprovokasi” agar Heru menulis ulang lakon Keluarga Thot sebuah lakon satir karya penulis Hunggaria, Istvan Orkeny, berjudul Tóték (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, The Toth Family), yang popular di Eropa pada era tahun 1960-an. Ini cara, agar setidaknya, Heru dan juga Teater Gandrik, bisa mengekplorasi sesuatu yang baru. Saya ikut terlibat dalam proses penulisan ulang lakon Keluarga Tot itu, dan saya semakin mengerti karakter kepenulisan Heru berkaitan dengan Teater Gandrik.

Gaya penulisan Heru yang berpola sindiran halus, guyon parikeno, terkadang nyinyir dengan sisnisme, pada tingkat tertentu telah menjadi “peletak dasar” yang menyediakan diri bagi peluang improvisasi para aktor untuk mengembangkannya dalam panggung, lantaran Heru Kesawa Murti “menyediakan” karakter tokoh-tokoh yang memang komikal, karakter yang pada dasarnya tengah membongkar watak dalam dirinya; hingga setiap kritik, sentilan dan ironi yang kemudian muncul dari peristiwa dramatik lakon itu, sesungguhnya tengah meledek dan menertawakan watak itu sendiri. Itulah guyon parikeno. Dengan karakteristik tokoh-tokoh yang “disediakan” Heru itulah, para aktor Teater Gandrik kemudian bermain-main dengan — sekaligus memain-mainkan — watak/karakter tokoh yang diperankan.

Dengan meletakkan naskah sebagai dasar eksplorasi permainan, Heru sesungguhnya telah memberi ruang bagi para aktor Teater Gandrik untuk menemukan dramaturgi teater sebagai “medan permainan yang menyenangkan” (dalam bahasa Susilo Nugroho, salah satu aktor Teater Gandrik: kami berteater memang untuk bersenang-senang, bermain dengan kegembiraan yang kami miliki) hingga mereka, para aktor Teater Gandrik, akhirnya bisa dengan leluasa “bermain-main dalam permainan”; dengan ringan keluar masuk peran, membangun dan menghancurkan dramatik adegan yang dibangunnnya.

 

Naskah Sebagai Laboratorium Estetik

Karena itulah, bila kita ingin mengkaji “estetika” Teater Gandrik, maka kita tak bisa mengabaikan begitu saja posisi penting dari naskah-naskah yang ditulis Heru Kesawa Murti. Bisa dibilang, naskah-naskah Heru menjadi rangsangan sekaligus mewadahi gagasan (yang dikembangkan) Teater Gandrik. Naskah-naskah Heru Kesawa Murti, bahkan “ditulis dengan kesadaran” untuk kebutuhan kelompok Teater Gandrik. Naskah itu menyediakan tokoh-tokoh yang cocok dan pas, untuk dimainkan aktor Teater Gandrik. Bahkah “jumlah tokoh” dalam naskah pun, kemudian disesuaikan dengan jumlah aktor Teater Gandrik yang (saat itu) ada. Struktur naskah dan pergantian peran, mengakomodasi kemungkinan double casting.

Seperti pernah dikatakan Butet Kartaredjasa, posisi dan peran penulis mengakomodasi kebutuhan Teater Gandrik sebagai sebuah kelompok, menjadi penting, justru karena penulis tidak berdiri sebagai otoritas tunggal, yang menguasai naskah, yang mengarahkan dan mendikte proses. Aktor tidak semata menyerahkan dirinya pada naskah, tetapi naskahlah, yang pada tingkat tertentu, mesti bersifat fleksibel pada penemuan-penemuan aktor selama proses penciptaan teater. Proses latihan adalah proses mencari kemungkinan-kemungkinan permainan, sekaligus sebuah proses untuk menyusun ulang naskah itu. Seperti juga peran sutradara yang tidak sentralistis dalam Teater Gandrik, penulis lakon juga bukan satu-satunya pemilik tafsir, yang bisa mengarahkan permainan.

Dari situlah, sesungguhnya, kita kemudian bisa menelisik perihal peran dan posisi penulis lakon dalam teater kita. Sebab, bila kita cermati, tokoh-tokoh seperti N. Riantiarno, Putu Wijaya, Arifin C. Noer, juga Rendra, sesungguhnya tak cuma berposisi sebagai sutradara, tetapi sekaligus juga penulis lakon: yang menyediakan naskah-naskah bagi kelompok teaternya.

Bahkah, bila kita amati, rata-rata kelompok teater kita, sesungguhnya punya penulis lakonnya sendiri-sendiri. Para penulis lakon kita, seolah menulis untuk kebutuhan artistik kelompok teaternya. Arifin C. Noer pernah mengatakan, satu alasan kenapa ia menulis naskah lakon, adalah karena ia membutuhkan naskah yang sesuai dengan gagasan teaternya, dan juga kebutuhan dan kemampuan kelompok teaternya. Sebagai sutradara, Arifin memiliki “gagasan teater”, dan karena itu ia “membutuhkan” naskah yang mampu mewadahi dan memberi peluang bagi dirinya untuk mengembangkan gagasan teaternya itu. Putu Wijaya, dengan gagasan teater “teror mental”-nya juga memerlukan naskah yang mampu mengartikulasikan dengan pas semangat “teror mental” itu, dan itu bisa diwijudkan ke dalam naskah-naskah lakon yang kemudian ditulis Putu Wijaya sendiri.

 

Gandrik Pasca Heru Kesawa Murti

Saya ingat, saat perayaan Nyatus Dina (Seratus Hari) meninggalnya Heru Kesawa Murti. Pendapa Karta Pustaka, Yogyakarta, Selasa malam itu (15/11/2011) dilingkupi cahaya remang kecoklatan, dengan deretan lampion yang digantungkan, seolah menegaskan perasaan kerinduan sekaligus kehilangan. Malam itu, Naomi Srikandi membacakan cerpen “Romo”, Butet Kartaredjasa membaca “Aku Cinta Istriku” dan para aktor Teater Gajah Mada melakukan dramatic reading lakon “Flu” yang ditulis Heru Kesawa Murti. Karya-karya yang “dihadirkan kembali” itu, seakan menegaskan kehadiran (kembali) Heru, malam itu. Tapi, sekaligus juga meyadarkan, bahwa keberadaan Heru Kesawa Murti, tetaplah tak tergantikan. Sebagai pemain “Akting Heru di panggung sangat unik, dan khas,” kata sutradara N Riantiarno. “Kelucuannya natural.”

Ada pertanyaan Bakdi Soemanto dalam satu tulisannya (Kompas, 25/9/2011) terkait penulis lakon Teater Gandrik, pasca meninggalnya Heru Kesawa Murti. Bahkan, saat itu, kita juga bisa bertanya, bila pada akhirnya nanti Teater Gandrik mementaskan kembali lakon-lakon yang ditulis oleh Heru — seperti Upeti, Dhemit, Orde Tabung — akankah lakon itu memiliki “suasana dan roh permaian” yang sama, ketika di panggung tak ada Heru Kesawa Murti? Bagaimanaa pun juga, Heru Kesawa Murti pun aktor yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari pentas-pentas Teater Gandrik.

Pasca meninggalnya Heru Kesawa Murti, Teater Gandrik sempat mementaskan lakon Gundala Gawat karya Goenawan Mohammad. Suasana cair penuh guyonan masih terasa di pentas Gundala Gawat itu, tetapi saya pribadi merasa, dengan lalu-lintas permainan yang melibatkan banyak aktor dalam banyak adegannya, terasa ada yang berbeda dari panggung Gandrik itu. Saya tak tahu, apakah penonton secara umum merasakan hal yang sama. Lalu kini Teater Gandrik mencoba mementaskan kembali lakon Tangis, yang pernah ditulis oleh Heru Kesawa Murti. Saya diminta untuk menulis ulang naskah itu.

Saya menulis ulang berdasarkan dua naskah Heru, yakni Juragan Abiyoso dan Tangis, yang semula ditulis Heru untuk drama televisi. Kisah berlatarkank perusahaan batik, saat Juragan Abiyoso, sang pemimpin perusahaan itu, merasa perlu melimpahkan kekuasaannya pada yang lebih muda. Saya diberi kebebasan menulis ulang struktur adegan itu, juga alur ceritanya agar menjadi punya konteks yang lebih segar — setidaknya konflik suksesi kekuasaan (atau perebutan kekuasaan) itu tidak lagi out of date, sebagaimana ketika Heru menulisnya. Hal yang saya pertahankan adalah karakter-karakternya, juga jumlah tokoh dalam lakon itu. Saya membayangkankan, lakon ini bisa membawa kita kembali pada Teater Gandrik pada masa-masa awal mereka; ketika jumlah pemain ringkes dan efektif (hanya 9 pemain, dimana 1 pemain bisa memainkan 2 peran atau lebih, sekaligus juga bisa menjadi pemusik).

Tapi, tentu saja, sebagaimana tabiat Teater Gandrik yang meletakkan naskah sebagai bagian dari proses penciptaan teater yang terus berkembang bersama apencaraian-pencarian dalam latihan, naskh Tangis pun mendapat sentuhan di sana-sini: perombakan degan, menyusun ulang alur, bahkan mengubah tekhnik pemanggungan. Dan di sinilah, saya bisa merasakan bagaimana seorang penulis dalam Teater Gandrik mesti bisa bersikap akomodatif pad ide-ide yang berkembang. Itulah, sebabnya, naskah Tangis ini bukan sekadar nostalgia, atau sekadar in memoriam Heru Kesawa Murti.

Saya kira ini menjadi kesadaran Teater Gandrik untuk mementaskan kembali karya Heru Kesawa Murti tidak dengan semangat “mengulang” apa yang dulu pernah mereka kerjakan dan capai dengan Heru. Bila hanya ingin mengulang pencapaian estetik, saya yakin Teater Gandrik akan memilih lakon Orde Tabung, yang oleh (Alm) Bakdi Soemando pernah dipujinya sebagai masterpiece Teater Gandrik. Lakon tangis, justru lakon yang yang menantang untuk dipentaskan ulang, karena menantang Teater gandrik untuk menyusun dan mengembangkannya ulang, dari awal. Ini seperti sebuah pernyataan: pada dasarnya Teater gandrik, masih terus gelisah, untuk berkembang. Sebab, bila Teater Gandrik hanya melulu ingin menngenang dan mengulang masa-masa gemilang yang dicapainya bersama Heru Kesawa Murti, maka seperti yang pernah diingatkan oleh Faruk HT, Teater Gandrik akan terjebak pada duplikasi terhadap prosesnya sendiri di masa lalu. Dan itulah, menurut saya, problem, sekaligus tantangan Teater Gandrik pasca Heru Kesawa Murti.

3 Tanggapan to “– PEMENTASAN “TANGIS” TEATER GANDRIK”


  1. 1 juju_jumaroh Februari 25, 2015 pukul 4:50 am

    Pertunjukan teater gandrik tangis sangat menggugah hati, lakon yang diperankan sangat natural, dan bolehkah saya tahu lirik nyanyian dalam pertunjukan tersebut?
    terima kasih

  2. 2 gendhuk69 Februari 18, 2016 pukul 7:08 am

    Teater Gandrik masih menjaga idealismenya. Saya masih memfavoritkannya.

  3. 3 Dotty Juni 24, 2019 pukul 4:21 am

    Hurrah, that’s what I was looking for, what a data!
    existing here at this webpage, thanks admin of this web site.


Tinggalkan komentar




Point your camera phone at the QR code below : qrcode enter this URL on your mobile : http://buzzcity.mobi/agusnoorfiles
Februari 2015
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
232425262728  

Archives Files

Catagories of Files