Semua jalan, Ibu,
selalu membawaku
kepadamu.
Di kota yang telah dilupakan oleh ingatan,
aku mencoba mengingat jalan-jalan
yang pernah kita lalui. Juga jalan-jalan
yang belum pernah kita lalui,
dan yang mungkin akan kita lalui.
Pada setiap jalan yang telah dilupakan oleh ingatan
selalu ada kisah yang menolak dilupakan,
dan tak mungkin terlupakan.
Setiap jalan punya kisah yang dengan tabah
disimpannya sendiri, menanggung luka
dan kebahagiaannya sendiri.
Ketika melewati sebuah jalan
kita tak pernah tahu:
adakah kita menambahi luka,
atau kebahagiannya.
Apakah jalan yang kulalui, Ibu,
menambah lukamu.
Atau menyudahi kebahagianmu?
Setelah tahun-tahun yang ingin dilupakan
masih saja aku mengingat sebuah jalan
yang membentang dari masa kecil.
Jalan yang sabar menyimpan semua tangisan
yang kadang ingin kudengar dalam kesendirian.
Di jalan yang abadi dalam kenangan itu, Ibu,
aku tak lagi bisa membedakan tangismu dan tangisku.
Ketika kudengar tangismu, aku seperti
mendengar tangisku sendiri
Kenangan, barangkali memang piringan hitam,
yang suka memutar kesedihan berulang-ulang.
Kota telah mengubah jalan-jalan, tetapi akan
selalu ada jalan yang abadi dalam ingatan.
Jalan-jalang menghilang dari sejarah.
Mereka terhapuskan tapi tak terlupakan.
Seperti engkau yang lelah, tapi menolak menyerah.
Bagaikan pengungsi ditawan kegelapan,
jalan-jalan itu mencari takdirnya sendiri
agar sampai yang sampai padaku,
sampai juga kepadamu.
Dari arah mana pun jalan itu,
dari masa depan atau masa lalu,
ia akan selalu membawaku padamu.
Adakah jalan itu, Ibu, adalah jalan
yang selalu menautkan kepedihan
dengan kenangan
“Agar kau sampai pada sunyiku, mari
kutunjukkan jalan paling rahasia,
ke jantungku,” katamu.
Dadamu: kota yang berdebar.
Kota penuh jalan rahasia
yang telah lama terbakar
menjadi memar kisah samar-samar.
Di kota yang dilupakan oleh ingatan inilah, Ibu
aku mengingat jalan-jalan dalam dadamu.
Kau pernah bercerita;
perihal jalan, yang pada suatu hari
menjelma burung, terbang dan hinggap
ke kota lain. Orang-orang memberinya
nama baru. Membangun patung seorang pangeran
yang menyaru dengan jubah megahnya
hanya untuk menutupi kesedihannya.
Kini aku mencoba mengingat, Ibu,
di sebuah kota yang telah hilang dari ingatan:
adakah sebuah jalan yang akan terus menghubungkan
kenangan dengan kepedihanku, kepadamu.
Seorang kekasih, di sebuah losmen murahan,
pernah berbisik memelukku.
“Akan kukenalkan kau pada satu jalan,” katanya
meraih bibirku yang telah mekar oleh gairah.
Lalu ia buka bajuku. Kutangku. Celanaku.
Susuku. Kulitku. Ingatanku.
Dan ia tunjuk, celah pahaku:
inilah jalan bebas hambatan,
menuju surga.
Aku telah memilih jalan bagi kepedihanku,
ketika seluruh jalanan di kota ini ingin aku lupakan.
Jalanan kota ini penuh mahkluk ganjil
yang dadanya menyimpan api kemarahan.
Jalan-jalan yang berkobar tubuh para korban:
wanita yang mati diperkosa.
Jalan-jalan yang mengelabu dan mengelabui.
Seperti Malin terdampar di bandar
yang mengasingkannya, aku memandang jalan-jalan
yang terbakar, di sebuah kota yang telah dilupakan
oleh ingatan. Bila waktu sebuah jalan, Ibu,
betapa jauh ia telah membawaku melupakanmu.
“Bagi seorang anak, sebuah jalan akan melupakan.
Ibu adalah jalan mengabadikan,” katamu
Mungkin, suatu hari orang-orang akan menemukanmu
tergeletak di sebuah jalan tanpa nama, tanpa ingatan.
Pada suatu hari itu, percayalah,
hanya aku yang mengingatmu, Ibu.
Akan selalu mengingatmu.
Meski semua jalan lenyap dari ingatanku.
2011
Mengingat dan melupakan merupakan dua hal yang membutuhkan ‘perjuangan’ -paling tidak bagi saya pribadi-
puisi yang mengingatkanku sebagai pejalan yang tak punya titik henti, karena titik henti tak pernah ada dalam mata dan peluk ibu:cinta.
Ibu, tentang semua hal ini. Tentang banyaknya lupaku. Kepadamu, selalu jalan pulang tempatku kembali..
wah, mantab pak agus noor ini. saya memang bukan penggemar sastra, saya juga sebelumnya tidak kenal siapa bapak. tau bapak gara2 ada salah satu tugas mata kuliah saya untuk analisa karya bapak. saya cermati ternyata aktifitas bapak di dunia menulis gak ada matinya, bahkan blog juga gak pernah berhenti ya. salut. saya dulu suka nulis, tapi entah kenapa sudah lama terbengkalai, blog sya raib entah kemana. hehehe
semoga selalu giat ya pak, semoga nular ke saya juga. terima kasih untuk inspirasinya.
sukak banget sama puisi ini.
Menyentuh kalbu
I loved this poetry