– LOKALITAS DAN METROPOLITAS DALAM SASTRA KITA

 

 

IMG_20150120_222922

Menyimak dua buku Cerpen Pilihan Kompas, Laki-laki Pemanggul Goni (2012) dan Klub Solidartas Suami Hilang (2013) kita menemukan beberapa cerita yang memiliki keragaman latar sosial budaya. Rupanya, itu memang menjadi kesadaran Kompas, setidaknya sebagaimana yang disampaikan dalam pengantar buku itu, yang berharap cerpen-cerpen yang muncul “mampu menghadirkan masalah-masalah sosial di wilayah-wilayah Indonesia yang terasa di luar jangkauan, maupun ranah budaya yang kurang dikenal” agar kisah dan tema makin beragam, atau setidaknya, “cukup memberi gambaran yang berbeda, yang menggenapi sosok Indonesia”.

Kita bisa memahami pernyataan di atas, bila membaca karya-karya sastra Indonesia hari ini, yang memang lebih dominan menghadirkan persoalan perkotaan. Ini ditengarai Kompas mengakibatkan ada semacam wabah “myopia”, penyakit rabun jauh. Kita kehilangan cara pandang untuk melihat keberagaman, wilayah-wilayah yang berada di kejauhan, yang hanya samar-samar muncul dalam karya sastra, karena nyaris “cara pandang” sastra kita terfokus pada perkotaan, dengan latar dan lanskapnya: kafe, gedung-gedung menjulang, kemacetan, dan beragam persoalan bawaannya.

Fenomena itu setidaknya bisa dijelaskan dengan “demografi pengarang” Indonesia yang memang sudah berubah, dibanding tahun 70-80an. Korie Layun Rampan permah memetakan asal pengarang Indonesia di tahun-tahun tersebut, yang lahir, tumbuh dan berdiam di lingkungan budaya mereka hidup, sebagai pengarang yang berasal dari lingkungan agraris. Karenanya, lingkungan sosial budaya agraris, dan persentuhan mereka dengan modernime, menjadi tema sentral yang banyak digarap pengarang dekade itu. Bahkan, ketika modernisme itu berbenturan begitu kuat dengan lingkungan sosial budaya di mana pengarang tumbuh, ada kesadaran untuk menegaskan identitas mereka melalui karya-karya yang menghadirkan “warna lokal” (local colour).

Hal itu bisa dilihat dari karya-karya Ahmad Tohari, yang mengangkat warna lokal Banyumas lewat Ronggeng Dukuh Paruk, Linus Suryadi, dengan Pengakuan Pariyem, yang mengangkat latar budaya Jawa. Juga Korie Layun Rampan sendiri, dengan Upacara, novel berlatar Dayak. Simak juga karya-karya AA. Navis sampai Darman Moenir dan Wisrah Hadi, yang banyak mengeksplorasi khasanah Padang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari karya-karya mereka. Juga karya-karya sastrawan berlatar budaya Bali, mulai dari Nyoman Tusthi Edhy, sampai Putu Fajar Arcana atau Oka Rusmini, yang seolah “penuh kesadaran estetis” menjadikan latar budaya Bali sebagai identitas kepengarangan mereka. Warna lokal Nusa Tenggara Timur yang kental dalam karya-karya Gerson Poyk, lalu Yusakh Ananda yang mengolah warna lokal Kalimantan. Sementara itu, Canny R. Talibonso, Aspar, dan S. Sinansari Ecip memperlihatkan corak warna lokal Sulawesi. Ajib Rosidi, salah satu sastrawan yang mempelopori untuk kembali menyerap kekayaan tradisi, pernah mengatakan, bahwa pengarang segenerasinya, memang banyak belajar menulis dari “budaya lokal yang mereka hidupi”.

Bila kita mencermati “demografi pengarang” Indonesia yang kini sedang tumbuh, kita akan mendapati bahwa rata-rata mereka memang sudah hidup, tumbuh dan “terdidik” di lingkungan perkotaan. Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Ayu Utami, Eka Kurniawan, AS. Laksana, Triyanto Triwikromo, untuk menyebut beberapa nama, adalah pengarang yang “telah menetapkan identitas kepengarangan mereka” (sebagaimana bisa kita baca dalam karya-karya mereka) sebagai warga perkotaan. Terbitnya karya-karya sastra, yang kemudian disebut dengan “metropop”, kian menegaskan “demografi pengarang” Indonesia terkini yang memang telah hidup dalam lingkungan urban kota yang semakin metropolis.

Simak cerpen “Pacar Pertama” Vika Wisnu, (Kompas, 13 Juli 2014) yang memerlihatkan karakter kisah urban dan metropolis. Tokoh-tokoh dalam kisah itu hidup dalam lingkungan urban perkotaan, bahkan kemudian tumbuh dalam lingkungan pergaulan kota besar dunia, seperti New York. Tak hanya itu, untuk menegaskan “kemetropolitanan” tersebut, pengarang merasa perlu memakai kata “sunset show” (dan itu dilakukan berulang), yang seakan-akan hendak menegaskan identitas kemetropolitanan itu. Saya ingat yang dikatakan Eka Kurniawan: bila telah ada dalam bahasa Indonesia, kenapa memakai kata asing? Identitas kemodernan melalui “kata-kata asing”, hanya bagian kecil yang menandai “demografi pengarang” yang tumbuh dalam lingkungan perkotaan.

Tapi, yang utama adalah, pengarang Indonesia yang tumbuh di tahun 2000an ini memang hidup di lingkungan kota besar, dengan semua kehebohan budaya yang dikembangkan televisi, media sosial, kafe, musik, filsafat post modern, dan lainnya. Bahkan, boleh dibilang, mereka bukan lagi “manusia perbatasan” antara yang lokal dan yang global, karena lokalitas telah menjadi bagian dari yang global. Cerpen yang terpilih sebagai Cerpen terbaik Kompas 2013, Klub Solidaritas Suami Hilang adalah contoh bagaimana persoalan lokal menjadi bagian yang tak terpisahkan dari isu-isu global itu.

Menjadi pertanyaan menarik, bagaimanakah pengarang yang telah tumbuh dalam lingkungan demografi perkotaan memandang dan mengolah kembali hal-hal yang disebut dengan “warna lokal” itu? Menurut kritikus sastra Melani Budianta keberagaman budaya lokal itu akan menjadi kekayaan estetis yang menarik, bila pengarang Indonesia saat ini mampu mengolah kultur dan subkultur itu dalam karyanya.

Bila kita menyimak kembali karya sastra yang mengolah “warna lokal” pada tahun 70-80an, maka kita akan mengenali beberapa hal. Pertama, “warna lokal” sebagai latar cerita. Kekhasan atau keunikan budaya menjadi latar, yang kemudian memunculkan eksotisme. Kedua, menghadirkan ketegangan antara tradisi dan modernitas. Ini menjadi penggambaran pergulatan manusia di tengah lingkungan budaya tradisinya yang makin terkalahkan oleh arus modernisme. Tema gegar budaya menjadi ciri yang menonjol.

Ketiga, tradisi sebagai ingatan atau kenangan yang tak bisa dilepaskan dari manusia (Indonesia) yang telah menjadi warga dunia. Situasi ini, memunculkan karakter tokoh-tokoh dalam karya sastra yang mengalami alienasi, keterasingan, ketika ia belum juga mampu sepenuhnya menjadi manusia modern. Tradisi menjadi ingatan yang jauh, terkadang dikenang, yang dikunjungi sesekali, menjadi semacam ziarah sekaligus yang ingin direbut kembali ketika tokoh-tokoh dalam sastra itu terasing oleh perubahan yang dialaminya. Cerpen “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” Umar Kayam contoh yang baik untuk hal ini.

Keempat, memandang tradisi sebagai semangat yang bisa diolah kembali ke dalam ekspresi yang baru. Tradisi atau lokalitas, tidak dilihat sebagai semata-mata “bentuk”, bukan sekedar apa yang terlihat sebagaimana dalam upacara, ritual, tembang, lakon atau legenda yang ada dalam satu tradisi; tapi justru “ruh” dalam tradisi itulah yang menjadi sumber kreatifitas, seperti tegaskan Putu Wijaya.

Dengan pengalaman yang berbeda, di tengah perubahan yang semakin keras, para pengarang hari ini tentu saja dihadapkan pada tantangan yang berbeda, ketika “harus” menulis apa yang disebut dengan “lokalitas” itu; karena menurut saya, tantangannya bukanlah sekedar menghadirkan kembali “warna lokal” dalam cerita, apalagi sekadar menempatkan “yang lokal” menjadi latar penceritaan. Dalam artian lain, tidak sekadar sebagai upaya menghadirkan “ranah budaya yang kurang dikenal”, atau “munghidupkan kembali apa yang sudah dilupakan”.

Salah satu jalan yang bisa dilakukan oleh pengarang hari ini ialah memperluas sumber tradisi kesusastraannya, pada karya-karya “sastra klasik” dari bermacam tradisi (lisan atau tertulis), sebagai cara untuk melampaui sejarah formal sastra Indonesia, yang kerap disebut bermula dari era Pujangga Baru atau Balai Pustaka. Banyak kanon sastra tradisi yang rasanya jauh lebih menantang untuk kembali ditengok, diolah, ditafsir dan diberi konteks kekinian. Sastrawan Gus tf Sakai lumayan tekun melakukan ini. Jalan lain ialah dengan “bermain-main” dengan kekayaan tradisi yang tersedia itu, menelisik kembali sejarah dan geonologinya, kemudian mengolahnya sebai dialog yang kritis dan dengan tekhnik penceritaan yang menarik. Bermain-main dengan mitologi dan sejarah seperti itu, membuat yang lampau tidak semata-mata dikisahkan kembali, atau sebagai artefak yang coba didiskripkan dalam cerita, tetapi sebagai cara untuk mencari pengucapan dan juga tekhnik-tekhnik baru penceritaan. AS. Laksana adalah satu pengarang Indonesia terkini, yang berhasil menempuh jalan itu.

Atau pengarang hari ini bisa juga menempuh jalan untuk membaca ulang karya-karya sastra Indonesia modern yang mengangkat “warna lokal” itu; kemudian mencari celah yang belum digarap oleh para penulis sebelumnya. Dengan begitu, akan terhindar dari pengulangan atau repetisi penceritaan, ketika menuliskan kembali problematika manusia hari ini ke dalam kisah yang mengolah “warna lokal” itu.

Mengharapkan keberagaman dalam karya sastra hari ini, untuk bisa melihat Indonesia yang luas dan tidak hanya terpusat diperkotaan, berarti sebuah tantangan bagi para pengarang untuk mengolah kembali kekayaan dan keberagaman tradisi atau lokalitas dengan penceritaan naratif yang segar. Ia tidak sekadar menceritakan kembali “apa yang disebut tardisi itu”, hingga menjadi kisah yang etnografis, tetapi tidak menghasilkan kebaruan dalam tekhnik dan narasi. Dengan begitu, karya hari ini yang ditulis berdasar sumber tradisi tak hanya sekadar bersanding dengan pencapaian tradisi yang menjadi sumbernya, tetapi menjadi suatu tafsir estetis terhadap tradisi yang telah, sedang atau masih berlangsung. Bukan tidak mustahil juga, dengan cara itu, apa yang dilakukan pelunulis hati ini, akan meemberi kemungkinan lain bagi tradisi itu untuk berkembang di masa depan.

Iklan

6 Tanggapan to “– LOKALITAS DAN METROPOLITAS DALAM SASTRA KITA”


  1. 1 tukangkabar Maret 3, 2016 pukul 7:27 am

    ulasan yang menarik. Tradisi lokal selalu menjadi insipirasi yang tiada kering

  2. 2 Turas Maret 30, 2016 pukul 4:28 pm

    bukunya dijual gak mas? hehe

  3. 3 arabturunan April 27, 2018 pukul 8:29 pm

    ulasan yang sangat menarik, mas. bagi saya, seorang penulis pemula yang masih minim kadar kritis dan wawasan sangat perlu membaca tulisan yang mengajak kita berfikir.

  4. 4 poker we1 Januari 17, 2019 pukul 3:45 am

    It’s remarkable for me to have a website, which is good designed
    for my experience. thanks admin

  5. 5 Kreta Amura Desember 1, 2019 pukul 4:56 am

    Tradisi lokal sekarang menjadi mahal untuk dijual


  1. 1 Identitas Ibu dalam Lokalitas "Biyung" | Buruan.co Lacak balik pada Juli 1, 2018 pukul 3:25 pm

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s




Point your camera phone at the QR code below : qrcode enter this URL on your mobile : http://buzzcity.mobi/agusnoorfiles
Januari 2015
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031  

Archives Files

Catagories of Files


%d blogger menyukai ini: