– TELEGRAM

Cerpen Agus Noor

SETELAH bertahun-tahun mengembara, ia pulang ke kamar kontrakannya. Di lantai ia lihat selembar telegram tergeletak, berdebu. Sepertinya telegram itu diselipkan begitu saja lewat celah bawah pintu. Dengan jengah ia raih telegram itu, menghempaskan tubuh ke kursi rotan reot, lantas menyobek dan membaca: Telah meninggal dunia dengan tenang titik. Ia mendesah. Hmm. Akhirnya mati juga.

Tanpa mandi dan ganti baju, segera ia raih kembali ranselnya, bergegas mengunci pintu. Tak hirau pandangan beberapa tetangga kamar yang memandanginya heran.

“Pergi lagi, Bang?”

Ia tak menjawab. Kenapa orang mesti peduli pada kepulangan dan kepergian? Mungkin karena setiap orang tak pernah terbebas dari bayangan kematian, sesuatu yang membuat orang-orang kemudian membayangkan tentang kepergian – pergi ke dunia lain. Dunia macam apa? Selama ini ia selalu pergi. Pergi dan pergi. Apakah ia sudah melihat dunia yang lain itu?

Dalam bus yang meluncur tenang, ia mencoba mengingat tempat-tempat yang pernah disinggahinya sepanjang tahun-tahun petualangannya yang penuh kegalauan. Barangkali ia pernah sampai ke tempat penuh impian dan kedamaian itu, tempat yang menumbuhkan kenangan dan membuatnya percaya bahwa ia pernah sampai ke dunia lain itu, dunia yang membuatnya tak pernah lagi berfikir tentang pulang.

Tapi, kematian itu melambai-lambai, seperti tangan tua dan renta, penuh harap menanti kedatangannya…

Lalu, wajah-wajah yang samar diingatnya, serpihan kenangan masa kecil di ladang dan pekarangan. Kenangan yang pernah membuatnya tak terlalu merasa sia-sia hidup di dunia yang begini hampa.

Bus terus meluncur, sesekali meliuk, seperti menembus kekelaman yang penuh rahasia. Di sampingnya seorang perempuan tertidur lelap. Lalu ia memandang kekelaman di luar jendela. Ia seakan-akan melihat selembar telegram gaib yang melayang-layang di kehampaan malam yang tak sepenuhnya ia mengerti. Seperti ia dengar suara-suara yang sayup masih dikenalnya. Seperti tawa kanak-kanak di antara gemericik riak sungai memecah bebatuan.

Keriangan masa kanak-kanak itu berpijar dalam benaknya, ketika ia berenang di sungai bersama kawan-kawan sepermainannya berkejaran mengikut arus, hamparan sawah di mana ia selalu mengembalakan kerbaunya, hutan jati yang menyimpan gema tawanya ketika memburu belalang, bau ubi bakar meruap, dan bayangan rumah tua yang menyimpan mimpi-mimpi petualangannya. Itukah saat-saat ia sungguh merasa bahagia?

Tapi, ia tak terlalu yakin apakah memang ia pernah bahagia. Mungkin saja ada saat-saat yang sungguh-sungguh membuatnya bahagia, tetapi ia tak bisa mengingatnya. Lalu ia ingat wajah itu: ibunya. Penuh kerut dan lunglai. Ia tak lupa rautnya yang kecewa, ketika suatu malam ia berpamitan, “Aku pergi, Bu.”

“Ke mana?”

Ia tak bisa menjelaskan. Apakah memang mesti ada alasan untuk sebuah kepergian? Ia hanya ingin pergi. Ke mana, ia tak tahu. Hampir semua laki-laki dewasa di desanya pada akhirnya juga pergi ke kota. Tapi, ia sendiri tak yakin, apakah ia memang ingin pergi ke kota.

Memang, ia selalu terpukau mendengar cerita tentang kota yang gemerlap mandi cahaya, dengan kemegahan yang tak mungkin terbayangkan oleh imajinasi kanak-kanaknya.

“Di sana, setiap hari adalah keajaiban,” kata orang-orang desanya, bila mereka pulang kampung saat lebaran. Tapi, rasanya, bukan itu semua yang mendorongnya ingin pergi. Karena ia sendiri tak yakin apakah ia memang ingin pergi ke kota. ia hanya ingin pergi. Entah ke mana. Mungkin ke tempat paling sunyi di dunia.

Ia memang suka membayangkan tempat yang sunyi, seperti bila ia membawa kerbau-kerbaunya ke pinggir lembah selatan desa. Di sana ada tanah lapang yang hijau dan teduh. Di situlah ia selalu rebahan, bernaung di bawah pohon gayam, yang kata orang-orang didiami puluhan makhluk halus.

Ia kdang bersandar di batang besar pohon itu, sambil meniup seruling, menghembuskan seluruh gairahnya untuk mengembara ke tempat paling sunyi di dunia. Angin berhembus sepoi, melantunkan suara serulingnya yang merayap-rayap kesunyian lembah, seperti gelombang yang membawanya hanyut hingga jauh ke dunia lain yang dihuni puluhan makhluk yang tak pernah mengenal kematian. Ke tempat semacam itukah ia ingin pergi?

Dan, pada malam berhujan itu pun, ia pamit pergi.

“Bilakah kau pulang?”

Ia menghindar tatapan ibunya.

“Entahlah.”

Ia tak terlalu yakin, apakah suatu hari nanti ia memang akan pulang. Karena, saat itu, dalah benaknya hanya ada kepergian.

Pada awal kepergian, memang, ia masih rajin mengirim kabar meski ia tak yakin adakah cerita-cerita yang dituliskannya itu ada gunanya bagi ibunya. Sampai kemudian, kian lama semua itu jadi terasa sebagai basa-basi yang tak menggembirakan. Ia merasa bosan karena haus menulis dan mengulang kata-kata yang sama, Ananda dalam keadaan baik, semoga demikian juga Ibu adanya. Ananda berdoa… Dan ia kian merasa jengah, karena sesungguhnya ia tak pernah sekali pun mendoakan ibunya.

Lantas ia pun jarang berkabar. Dan surat pun tak lagi ia terima. Membuatnya merasa bebas dari sesuatu entah apa. Membuatnya merasa lepas mengembara tanpa punya kewajiban mengisahkan semua yang dialaminya. Membuatnya tak pernah lagi peduli pada kepulangan. Seseorang akan benar-benar menikmati pengembaraan ketika ia telah benar-benar terbebas dari bayangan pulang. Ia tahu dan menikmati itu.

Dan kini – astaga – ia pulang hanya karena telegram. Telah meninggal dunia dengan tenang. Apa anehnya? Setiap orang akan mati juga, kan?

Ia dapati bendera putih di ujung jalan masuk menuju rumahnya. Begitu ia sampai pekarangan, beberapa orang menatapnya dengan tatapan aneh – mungkin mereka pangling karena perjalanan waktu. Sudah sedemikian berubahkah aku? Ia sendiri tak pernah tahu, seperti apa wajahnya kini. Ia tak suka, bahkah nyaris tak pernah berkaca selama kepergiannya.

Lalu, beberapa orang segera menghambur ke arahnya, menyambut dan memeluknya hangat. Merangkul dan menepuk-nepuk punggungnya, seakan-akan itu bisa membuatnya membuatnya tak terlalu kehilangan.

Suasana perkabungan membuat siang jadi redup. Ia masuk, dan mendapati para kerabatnya duduk mengelilingi jenazah, yang diletakkan di atas amben di ruang tengah.

“Kami tak berani menguburkan, sebelum kamu datang.”

Ia hanya mengangguk, meki ia sebenarnya ingin mengucapkan kata-kata terima kasih atas perhatian semua kerabatnya. Ingin juga ia bercakap-cakap agar kebekuan yang ia rasakan tak terlalu menyesak. Tapi, ia hanya diam. Berdiri di samping jenazah, menyandang ransel yang tak juga ia turunkan. Kemudian menyibak kain yang menutupi wajah jenazah itu.

Ah, wajah yang lamat ia ingat. Wajah yang selalu murung. Kini hitam dan mengisut. Tulang pipinya mencuat. Matanya yang cekung membuat wajah itu kian tampak kesepian. Otot bertonjolan di dahi dan leher, seperti jejalin anyaman bambu rumpang.

Sudah berapa lamakah jenazah ini dibaringkan? Lalu ia ingat telegram yang sudah berdebu itu. Mungkin sudah lama – bertahun-tahun lalu – dikirim. Dan selama itu pula mereka menunggu kepulangannya.

Sementara ia pergi mengembara dari kota ke kota, dari malam ke malam, dari sunyi ke sunyi, mereka terus menunggu kedatangannya. Jenazah itu terus dibaringkan di ruang tengah. Setiap hari para tetangga datang melayat. Duduk menggerombol dan mengobrol. Sedang ia, saat itu, mungkin sedang tidur dengan seorang pelacur di gudang pelabuhan.

Begitulah setiap hari, mereka – para pelayat itu – menunggu kedatangannya. Setiap hari mereka mempersiapkan air buat memandikan jenazah. Menebang pohon pisang untuk bantalan. Sementara yang lain menggali kubur, menyiapkan nisan, memasang tenda, dan menata kursi di pelataran.

Di dapur, para perempuan merangkai bunga, mengiris daun pandan, juga memasak air buat minum para takziah yang terus berdatangan. Mereka duduk bergerombol mengobrol menantikan sat penguburan.

Suara tangis yang terus mengisak membuat orang-orang bercakap-cakap dengan suara tertahan. Meski sesekali ada juga orang yang kelepasan tertawa, entah menertawakan apa. Tetapi segera orang itu menutup mulut, seperti hendak membunuh makhluk ganjil yang mendadak masuk ke dalam mulutnya. Kemudian mereka terus duduk menunggu, sampai senja meningkap atap, dan malam menebar gelap.

“Belum juga pulang?”

Lalu mereka pamit. Beberapa orang masih bertahan ngobrol sampai lart malam.

Paginya, para tetangga kembali datang melayat. Menyiapkan kembali semua keperluan penguburan. Sementara ia entah di mana saat itu. Kadang ia memang seperti diusik firasat yang membuatnya tergeragap. Ada sesuatu yang menarik-nariknya untuk kembali ke rumah kontrakannya. Telegram itukah?

Ia terus mengembara mencari entah apa (ataukah tak mencari apa-apa?), sementara para kerabatnya terus menunggu, dan para tetangga terus datang melayat. Dari dalam rumah, suara isak tangin membuat para pelayat bercakap dengan suara tertahan. Kian hari isak dan percakapan terasa kian lamat. Meski ada juga orang yang sesekali kelepasan tertawa – barangkali karena merasa betapa konyolnya semua ritual pelayatan yang terus mereka jalani berulang-ulang setiap hari. Tapi beberapa orang segera mendesis, memberi isyarat agar segera berhenti tertawa. Dan orang yang tertawa itu pun dengan gugup dan merasa bersalah segera membekap mulutnya, untuk kesekian kali. Begitulah, bertahun-tahun mereka melayat dan menunggu.

Kini, begitu ia datang, mereka bergegas menyiapkan segalanya. Terdengar begitu banyak nafas dihembuskan lega. Seakan mereka terbebas dari kewajiban yang membuat mereka terbelenggu. Tanpa seorang pun berkata-kata, jenazah segera dimandikan. Doa dan sambutan yang diucapkan tergesa, semua lewat begitu saja di telinganya.

Lalu keranda bergerak, ia jalan menunduk di belakangnya. Semua berjalan dalam diam, membuat kuburan jadi rumah kesunyian yang mereka masuki dengan gemetar. Jenazah diturunkan ke liang lahat, dikubur tanpa percakapan.

Ketika akhirnya tanah itu telah menggunduk, dan orang-orang pulang, ia masih berdiri dirajam sunyi; tak yakin pada prosesi yang barusan dijalani. Sampai kemudian ia berjongkok, menyentuh tanah yang masih basah. Dan meyakinkan sekali lagi, membaca nama di nisan itu. Benar. Itu namanya. Ia mengusap nisan itu, pelan dan gamang, tetapi juga merasa yakin dan tenang.

Ketika menjelang sore ia pulang, di ruang tamu sudah menunggu para kerabatnya, duduk mengelilingi perempuan renta: ibunya – yang tampak kian begitu sengsara. Lunglai di kursi, dengan kepala menyadar terkulai, mulutnya melompong, terbuka bagai kubur menganga.

“Kau tak ingin bicara apa pun dengan ibumu? Bertahun-tahun ia menunggu kepulanganmu,” seorang kerabatnya berkata, seakan tangan yang menahan langkahnya masuk kamar.

“Ia toh sudah tak bisa mendengar apa-apa.” Desahnya pelan, lalu bergegas masuk kamar, meraih ransel dan jaket.

“Kau hendak pergi lagi?”

“Ya.”

“Tinggallah beberapa hari lagi.”

“Terima kasih. Aku mesti pergi.”

“Kau akan kirim kabar pada kami, kan?”

“Tentu.”

Ia bergerak mendekati ibunya yang lunglai di kursi. Menggenggam tangan yang kurus kering itu, menciumnya. “Aku pamit, Bu.”

Tak ada jawaban. Sebenarnya ia berharap ibunya akan memberinya nasehat, sedikit kata, atau sekadar bertanya seperti dulu pada saat kepergiannya yang pertama. Percakapan menjelang perpisahan seperti itu akan sangat menyenangkan setiap kali dikenang. Setiap patah kata – yang paling tak berharga sekali pun – akan terasa ada gunanya. Setidaknya kata-kata itu akan terngiang, menyelusup malam-malam panjang petualangan yang membosankan. Menjadi tembang pengantar tidur, yang bisa meneduhkan kelelahan.

Ia menunggu ibunya berkata, ta tak ada suara. Ibu sudah kehilangan suara dan tenaga, bahkan untuk mengelus kepalanya. Matanya putih berkabut. Tapi, ia yakin ibunya mendengar pamitnya – setidaknya merasa, betapa putra satu-satunya kini hendak kembali mengembara. Ia menatap mata ibunya yang putih keruh itu, seperti sebuah dunia yang terselimut kabut, menyimpan sesuatu yang abadi. Sesuatu yang tak kunjung ia fahami. Sesuatu yang mengingatkannya pada kuburan itu. Batu nisan itu. Dimana namanya tertulis dengan tegas dan jelas, seperti deretan kata dalam telegram. Telah wafat dengan tenang…

Bergegas menepis cemas, ia segera mencium tangan ibunya. Lalu, kepada kerabatnya, ia berkata, “Kirim telegram bila aku kembali meninggal.”

Kemudian bergegas pergi.

9 Tanggapan to “– TELEGRAM”


  1. 1 [D2R3D2] Mei 19, 2008 pukul 11:00 am

    wah membangkitkan kenangan lama….
    headernya keren, klo diliat pake koneksi mac

  2. 2 agusjay55 Juni 1, 2008 pukul 5:24 pm

    Cerpennya bikin saya terbengong-bengong. Keren, Bang Agus Noor!
    Kalo boleh tahu gimana perjalanan karirnya hingga sampe sekarang.
    Singkat juga nggak apa2. Tapi kalo panjang dan dibikin buku juga nanti saya beli (kalo lagi ada duit, hehehe).

    Saya pernah dengar seorang pengarang bilang bahwa dulu ia sempat putus asa dengan karir kepengarangannya (sebelum ngetop). Apa Bang Agus Noor pernah juga mengalaminya? Atau malah putus asa itu salah satu episode yang akan dilewati setiap pengarang dalam memulai karirnya?

  3. 3 Adit September 21, 2010 pukul 3:17 am

    Bisa lepas, bisa kembali, belum bertitik, terbaca

  4. 4 eka maryono Mei 19, 2011 pukul 4:25 am

    bagus sekali bos cerpen ini ….

  5. 5 Ikri Green Black Maret 22, 2014 pukul 2:05 am

    saya cuma bisa mengatakan “LUAR BIASA”

  6. 6 Muqoddasah Desember 25, 2015 pukul 4:14 am

    asli, aku jadi bingung
    tapi asli kereng banget

  7. 7 ZAI September 8, 2016 pukul 1:41 am

    sumpah,
    permainan alur pemikiran nya.., wah wah wah

  8. 8 Harga Kunci Digital Juni 28, 2018 pukul 5:16 am

    I love what you guys are usually up too. This kind of
    clever work and exposure! Keep up the great works guys I’ve you guys to our blogroll.

  9. 9 Nur Qalbi Maret 24, 2020 pukul 3:31 pm

    Terima kasih atas ceritanya. Ini pertama kalinya saya membaca cerita surealisme dan saya dibuat speechless. Semoga sukses selalu Pak.


Tinggalkan komentar




Point your camera phone at the QR code below : qrcode enter this URL on your mobile : http://buzzcity.mobi/agusnoorfiles
Mei 2008
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031  

Archives Files

Catagories of Files