– SEPAKBOLA: MEMBERI MAKNA PADA YANG FANA

Surat Agus Noor

Kau bertanya, “Kenapa kamu bisa begitu tergila-gila pada sepakbola? Apa yang kau dapat darinya?” Baiklah. Kutuliskan ini buatmu. Tidak agar kau memahami. Tetapi setidaknya supaya kamu bisa sedikit merasakan kegembiraanku…

Sepertinya, ada yang hilang dalam Piala Eropa 2008. Drama! Saya sangat setuju dengan pendapat Robert Coover, bahwa ada “sifat teater” dalam permainan bola. Lapangan adalah panggung, dan pertandingan adalah alur dramatik berdurasi 2×45 menit plus injury time. Setiap pertandingan menjadi menarik karena menampilkan drama yang berbeda, ketegangan dan suspens yang berbeda. Sifat teater itulah yang membuat sebuah pertandingan akan semakin menarik bila memenuhi aspek dramatik di dalamnya. Dan itu, yang sampai saat tulisan ini dibuat, terasa hilang di panggung Piala Eropa kali ini. Barangkali, karena belum memasuki babak knock out. Babak hidup mati yang bisa berujung pada “tragedi”. Dan tragedi, kita tahu, adalah pencak ekstase dari pertunjukan teater.

Kita memang terhibur dengan permainan apik atraktif Belanda di dua pertandingan saat menghempaskan Italia dan Perancis. Tetapi dua pertandingan itu sekadar pertandingan yang enak ditonton, karena kurangnya “sifat teater” di dalamnya. Bila teater adalah proses sebuah peristiwa, maka proses bagaimana terjadinya gol itu menjadi lebih mengesankan ketimbang berapa jumlah gol yang terciptakan. Sejarah akan mengenang proses gol itu sebagai sebuah peristiwa teater, sebagaimana gol van Basten di Piala Eropa 1988 yang membawa Belanda kampium di Eropa, atau “gol tangan Tuhan” Maradona ke gawang Inggris di babak perempat final Piala Dunia 1986. Itulah elemen dramatis dari proses terciptanya gol. Dan itulah yang membuat sepakbola menjadi menarik.

Sifat teater pada sepakbola, membuatnya seperti panggung kehidupan sesungguhnya. Manchester United, menamai stadion Old Trafford kandang mereka dengan “theater of dream”. Dan sebagai satu teater, misteri sepakbola terletak pada kejadian-kejadian yang berlangsung di atas panggung-lapangannya. Sepakbola bukanlah persoalan data, lanjut Coover, ia adalah kesan dan gambaran yang ditimbulkan oleh para aktor-aktor lapangannya. Maka statistik dan data tak pernah memberikan kesan dramatik apapun. Bukan soal berapa skor yang tercipta dalam pertandingan – dan itulah yang membuat sepakbola berbeda dengan basket yang saling berkejaran mendulang angka. Pertandingan-pertandingan bola yang menjadi klasik dan abadi dalam kenangan, kadang miskin gol, tetapi momentum dramatiknyalah yang membuatnya terasa tetap agung ketika kita menyaksikan (rekamannya) kembali.

Apakah Anda ingat pada pertandingan dengan jumlah gol terbanyak? Saya kira, Anda pasti tidak tertarik pada kenyataan statistik ini: bahwa klub Olympos Xylofagou pernah mengalahkan SEK Ayios Athanasios 24-3? Atau apakah Anda “terkesan” dengan catatan rekor kemenangan Australia yang berhasil menjaringkan 31 gol tanpa balas ke gawang American Samoa, pada 11 April 2001 di Coffs Harbour? Tapi Anda pasti akan tetap merasakan kesan dramatis dari tandukan Zidane ke Materazzi saat final Piala Dunia 2006 di Berlin, meski pertandingan itu hanya menghasilkan 2 gol (1-1) hingga masa perpanjangan waktu. Dan ketika pertandingan itu diakhiri dengan adu pinalti (5-3 untuk Italia), toh banyak yang menganggap puncak dari semua drama itu sesungguhnya ada pada peristiwa tandukan Zidane itu. Tandukan yang kemudian makin membuat dramatis rivalitas Perancis dan Italia. Dan drama tandukan itulah, kini, yang dikenang kembali ketika Perancis dan Itali bertemu di Piala Eropa kalai ini, untuk sebuah pertandingan hidup mati.

Sepakbola bukanlah perlombaan mencetak gol, dan itulah sebanya kenapa olahraga ini tidak begitu disukai orang Amerika yang pragmatis dalam memahami olahraga. Dalam pandangan pragmatis seperti itu, yang penting adalah skor atau rekor. Makin banyak skor dan makin cepat sebuah rekor dipecahkan, menjadi tujuan utamanya. Mereka yang masih percaya pada jumlah gol, tidak bisa memahami rahasia keindahan sepakbola. Bahkan Rinus Michels, si penggagas totall football, menegaskan bahwa permainan sepakbola “puting beliung” bukanlah sebuah cara untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya. Total football adalah sebuah visi bagaimana cara memainkan sepakbola yang menarik dan menghibur. Ia juga sebuah filosofi, bahwa permainan ini adalah pertarungan untuk menguasai, mendikte dan membawa alur permainan. Itu cara untuk melumpuhkan lawan, dengan keterpesonaan, dengan kegentaran. Dalam sifat teater yang dimiliki sepakbola, itu adalah cara menjadi tokoh utama di lapangan. Total football ialah Oedipus yang ingin menentukan nasibnya sendiri, meski ia harus menanggung tragedi, sebagaimana Belanda yang selalu bermain mengesankan tetapi mengalami akhir tragis di event Piala Dunia yang belum pernah dimenanginya. Tapi bukankah tragedi yang ditanggung Belanda itu, justru, yang membuat kita seringkali merasa simpati dan main menyukai? Karena kita tahu, Belanda bermain bola tidak hanya sekedar mencetak gol, tetapi mempertontonkan pada kita bagaimana caranya membuat gol yang pantas dikenang.

Begitulah, setelah peliut ditiup diakhir pertandingan, yang tersisa dalam ingatan adalah drama. Yang dibicarakan di kafe-kafe atau warung-warung pinggir jalan, ialah alur dramatik pertandingan, insiden dan suspen, klimak-klimak kejadian yang bahkan masih membuat kita menghela nafas tertahan atau dipenuhi ketakjuban yang tak kunjung bisa kita fahami. Kita kadang terkejut karena menemukan hal-hal yang sulit kita rasionalisasi. Tetapi, seperti ditegaskan John Lanchester, irasionalitas itulah yang justru membuat sepakbola memiliki keindahan yang mendalam. Setiap orang akan menemukan sendiri sebuah rahasia dalam pertandingan itu. Sebagai sebuah teater, tegas Coover, sepakbola menjadi semacam “pertunjukan moral tanpa sebuah akhir”.

Maka, peristiwa di panggung lapangan membuat kita bisa merefleksika kehidupan. Atau sedikitnya bisa menyediakan “kue gossip” legit bagi kehidupan kita. Seperti ketika Bastian Schweinsteiger dikartu merah setelah terjadi insiden kecil dengan Jerko Leko ketika Jerman lawan Kroasia, yang membuat Jerman tidak hanya terjerembab “kalah makin dalam”, namun juga menjadi “punya makna lebih dalam”. Atau ketika wasit Howard Webb memberikan penalti bagi Austria, saat melawan Polandia, padahal waktu sudah memasuki injury time, dan Polandia tengah unggul 1-0. Itu bukanlah pertandingan menarik, tetapi tetap dibicarakan karena kontroversi pinalti itu. Apalagi ketika Perdana Menteri Polandia Donald Tusk ikut geram terhadap Webb, dan “ingin membunuhnya”.

Peristiwa-peristiwa yang lebih dramatis, yang lebih menyediakan unsur-unsur teaterikal, pastilah akan lebih banyak terjadi lagi di babak selanjutnya. Inilah babak dalam drama yang lebih misterius dan dalam. Karena seakan segalanya dipertaruhkan. Bukan kekalahan atau kemenangan benar, mengutip Chairil Anwar, “yang menusuk kalbu”, yang menyakitkan. Tetapi drama kenapa kalah dan kenapa menang itulah yang akan membuat kita makin belajar menghayati sebuah momentum peristiwa. Itulah yang membuat kita menjadi mungkin menemukan dan mengalami katarsis. Dan sebagimana teater, keagungan sepakbola memang ada pada puncak katarsis itu.

“Apalah arti kemenangan,” kata seorang kawan. “Toh semua itu hanya fana.” Kekalahan dan kemenangan, barangkali memang fana. Tetapi dengan sepakbola, kita berupaya memberi makna pada yang fana itu. Atau seperti larik sebuah puisi: kita berusaha membikinnya abadi.

1 Tanggapan to “– SEPAKBOLA: MEMBERI MAKNA PADA YANG FANA”


  1. 1 Sungai Juni 21, 2008 pukul 6:44 am

    setiap bicara bola, aku hanya terbayang, seperti apa kesepian Camus saat jadi kiper di Alzajair dulu. bola. bola. memang penuh cerita.


Tinggalkan komentar




Point your camera phone at the QR code below : qrcode enter this URL on your mobile : http://buzzcity.mobi/agusnoorfiles
Juni 2008
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

Archives Files

Catagories of Files