Data Buku:
Judul : 9 dari Nadira
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gamedia), Jakarta
Cetakan : I, Oktober 2009
Halaman : xii + 270 halaman
ISBN : 978-979-91-0209-6
LIMA tahun terakhir, sastra Indonesia disibukkan oleh dua hal. Pertama, isu seputar tema seksualitas yang terkait para penulis perempuan. Kedua, kesibukan untuk mengeksplorasi gaya bercerita dan mengolah bahasa. Yang pertama membuat banyak tema lain yang diangkat para penulis kita seakan tenggelam dalam hiruk pikuk yang sangat seksis dan bias gender. Yang kedua, disamping mampu menghasilkan sensibilitas baru dalam bahasa, seringkali karya sastra – dalam hal ini prosa – yang dihasilkan terlalu sibuk dengan gaya, berkutat pada pengagungan metafora, hingga melupakan cerita yang ingin disampaikannya.
Dalam konteks itulah, buku 9 dari Nadira, menjadi penting kemunculannya. Sembilan kisah dalam buku ini menegaskan, betapa pada dasarnya, sebuah prosa yang baik mesti tak melupakan unsur-unsur pembentuk cerita di dalamnya, seperti karakter, kompleksitas psikologis tokoh-tokoh, intensitas plot, cara pandang yang segar.
Untuk mencapai itu semua memang dibutuhkan ketrampilan bercerita, dan itu memprasyaratkan seorang penulis untuk bisa terlebih dulu menjadi seorang pencerita yang baik, seorang “tukang cerita” meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma. Dengan begitu, kisah akan menjadi lancar, mampu melibatkan pembaca secara emosional saat memasuki labirin kegelisahan yang terasa dalam plot yang dibangunnya, dan menemukan kejutan atau pencerahan setelah menyelesaikannya. Semua itu, tampak kuat dalam cerita-cerita yang terhimpun dalam buku ini, dan menjadi bukti bahwa Leila S. Chudori memang seorang pencerita yang piawai.
Tahun 1989, saat kumpulan cerpennya Malam Terakhir terbit, Leila memang telah memantapkan diri sebagai pencerita yang ulung. Dalam catatan saya, kumpulan cerpen Malam Terakhir itu – bersama kumpulan cerpen Manusia Kamar Seno Gumira Ajidarma – menandai generasi baru penulis cerpen dalam sastra Indonesia. Saya perlu mengungkapkan itu, agar kita bisa memiliki persfektif yang tepat dalam memandang posisi penting Leila S. Chudori dalam sastra kita, karena namanya memang lumayan lama menghilang dan jarang disebut ketika riuh-rendah seputar para penulis perempuan yang dikaitkan dengan tema seksualitas. Padahal, dalam kumpulan cerpen Malam Terakhir itu, kita sudah melihat bagaimana tema seksualitas dinarasikan dengan matang dan cerdas oleh Leila, yang membuatnya memiliki posisi penting sebagai penulis perempuan feminis setelah generasi NH. Dini.
Kumpulan kisah 9 dari Nadira, karena itu boleh disebut sebagai comeback-nya Leila dalam sastra Indonesia. Dan tak hanya kita pembaca sastra yang beruntung, tetapi juga sastra Indonesia, karena tak kehilangan bakat terbaik yang pernah ada. Kita tahu, banyak bakat-bakat besar dalam sastra kita, kemudian menghilang begitu saja hanya karena mereka tenggelam dalam rutin di luar penciptaan sastra. Kesembilan kisah dalam buku ini berpusat pada Nadira sebagai poin of view penceritaan yang dominan. Nadira, muncul sebagai alter ego narator, yang menjadi pusaran relasi antartokoh, terutama dengan Nina, kakaknya. Hubungan Nadira dan Nina yang digambarkan seperti “sepasang rel kereta api yang lurus yang tak pernah berminat untuk bertemu di tengah” (hal. 44) membersitkan kerumitan hubungan dalam keluarga Bramantyo Suwandi dan Kemala. Juga dengan tokoh-tokoh lainnya seperti Gilang Sukma, koreografer bertubuh eskotis yang menggoda Nadira dan kemudian menikah dengan Nina; Utara Bayu, atasan Nadira di majalah Tera, yang diam-diam menyintai Nadira tapi tak puya cukup keberanian berterus terang.
Sejak kisah pertama, “Mencari Seikat Seruni”, kita langsung merasa ada puncak gunung es, dan ada sesuatu yang tidak beres di dasarnya, ketika ibu Nadira ditemukan mati bunuh diri. “Kami menemukan sebuah sosok yang telentang bukan karena sakit atau terjatuh, tetapi karena dia memutuskan: hari ini, aku bisa mati.” (hal.3). Penggambaran yang lugas, tangkas, tetapi kita langsung disergap perasaan cemas. Dari pemiyuhan kematian itulah kita langsung memperoleh gambaran karakter Nina yang rentan dan rapuh, Arya yang tenang dan terus menerus membaca Yassin, Bramantyo tua yang sudah tak punya semangat setelah dilengsengkan dari tugas-tugas kewartawanan,serta Nadira yang menguruhi hal-hal praktis seperti meengurus makan dan penggali kubur, serta, ini yang bagi Nadira paling penting: mencari bunga seruni yang mustahil ditemukan di Jakarta.
Dengan menekankan pada progresi psikologis karakter tokoh-tokohnya, kita melihat kompleksitas hubungan kakak beradik Nina dan Nadira pada kisah ke dua. Bagian ini, dibuka dengan adegan yang mencekam: ketika Nina kecil membenamkan kepala Nadira kecil ke lobang toilet yang masih penuh air kencing. Kelak, seperi muncul pada bagian Melukis Langit, setiap dirundung masalah, Nadira suka membenamkan kepalanya ke dalam air (hal. 91). Bahkan ia kerap mencium bau pesing kecing itu, seolah trauma psikologis yang tak gampang hilang.
Kompleksitas dan sekaligus “motif psikologis” seperti itu, menjadi makin menarik ketika Leila banyak memakai tekhnik penceritaan yang cenderung ulang-alik (kita mengenalnya dengan istilah flahback) dan menyusun kelebatan masa silam ini dengan komposisi penceritaan yang paralel. Baiklah, untuk memudahkannya, saya akan menyebut tekhnik penceritaan itu dengan “paralelisme penceritaan”. Yakni penyusunan beberapa (dua atau lebih) kejadian dalam satuan alur. Hal itu dilakukan dengan “menceritakan yang sekarang” sekaligus menyandingkannya dengan masa silam, atau yang tengah terjadi dengan ingatan, atau menghadirkan dua ruang waktu penceritaan yang berbeda, bahkan pada tingkat tertentu, yang nyata dan yang dipikirkan.
Tekhnik penceritaan itu, pada satu sisi membuat adegan-adegan menjadi filmis, karena seperti tersusun dari satu scene ke scene lainnya. Pada sisi lain, membuat alur kisah tumpang tindih, bahkan seperti berkelindan diantara ingatan dan yang nyata. Maka, melalui alur perceritaan seperti itu, kita seperti memasuki lorong waktu menjumputi dan mengenali masa lalu tokoh-tokohnya, tetapi juga sekaligus merasa bahwa semua itu tiada lain “hanya” berpusaran dalam bawah sadar tokoh-tokohnya. Seakan, kisah yang berjalan berada dalam kelebatan jiwa tokoh-tokohnya. Makanya, dalam hal ini saya setuju dengan Linda Christanty, yang meyebut “kerumitan psikologis” menjadi hal yang menarik dari buku ini.
Leila, dalam pengantar, menyebut ini sebagai “sembilan cerita pendek”, yang berarti tiap-tiap kisah berdiri sendiri sebagai sebuah cerita. Tetapi, seperti dinyatakan Budi Darma, sesungguhnya ada benang merah tematik dan alur, yang menyatakan kesembilan kisah itu, hingga tiap-tiap kisah itu saling terhubung dan terkait, dan karenanya mengesankan sebuah novel yang ditulis secara fragmentaris. Di sini, alur besar itu justru memberikan ruang imajinasi bagi pembaca, karena kita seperti harus menyusun kembali hubungan antarkisah itu. Bila kita mau aktif mengembangkan imajinasi, maka kita seperti tengah menyusun teka-teki. Misalkan bagaimana rasa hormat Nadira pada ibunya dan bagaimana maknanya bunga seruni itu bagi sosok ibu Nadira, justru secara mengejutkan bisa kita temukan pada bagian kisah “Tasbih”, saat Nadira, yang bekerja sebagai repoter majalan berita Tera, melakukan wawancara dengan Bapak X, psikopat yang cerdas.
Melalui adegan bergaya thriller – saya langsung ingat pada satu scene film Silence of the Lambs – psikopat yang punya “gaya” selalu merobek mulut dan mencongkel biji mata korbannya itu, seperti sisi lain dari ketakutan Nadira yang tak mau diakuinya. Aroma melati yang semerbak tak cocok buat kepribadian ibumu Nadira, sedap malam terlalu mistis, seruni terasa cocok dengan seseorang yang lelah dengan dunia, jelas psikopat itu, yang suaranya bagai menidurkan Nadira dalam kamar imajinasinya. Kita merasakan ketegangan ketika melalui adegan itu kita nyaris bisa mendengar dengus nafas psikopat mendekati wajah Nadira, seakan mencapai ekstase yang diinginkannya, Dan kita, tiba-tiba tersentak: hanya dalam dua detik, wajah Bapak X dihajar tonjokan yang begitu keras (hal. 120).
Saling keterkaitan kisah itu pula yang membuat kita menjadi faham siapa Alina Putranto, salah satu perempuan yang dikencani Niko Yuliar yang akan menikah dengan Nadira, dan membuat Utara Bayu, begitu risau di bagian akhir kisah “Ciuman Terpanjang” (hal. 164). Kita tak mungkin bisa merasakan ketegangan penyebutan nama Alina Putranto, apabila kita tidak mengkaitkannya dengan bagian lain kisah, yakni “Tasbih”, dimana kita mendapat gambaran siapa Tito Putranto, pengusaha kaya yang snobis tetapi punya cara begitu aduhai dalam hal memberi pelajaran “musuh-musuhnya” dengan cara: menggantungnya terbalik, seperti kelelawar yang diikat kakinya, di lantai 17 kantornya. Dan dari sosok Tito itu pula, kita bisa makin tahu begaimana sosok ibu yang dihormati dalam jiwa Nadira (hal. 137).
Bagian kisah yang paling dramatis dan puitis adalah “Kirana”. Bahkan boleh dibilang, di bagian inilah kecenderungan tekhnik paralelisme yang dibagai Leila terasa dramatis, karena kisah ini memakai paraleisme dunia panggung, yakni adegan koreografi Gilang Sukma yang menafsir kisah Panji Semirang dengan ‘panggung perkawinan” Nadira yang tengah morat-marit. Terasa puitis, bukan saja karena pada beberapa bagian narasi mengunakan elemen puisi, tetapi karena pada bagian inilah moment kejiwaan Nadira diungkapkan secara berlapis: antara hasrat, pemberontakan dan pencarian identitasnya. Jiwa Nadira, pada satu sisi menjadi seperi Candra Kirana yang tengah menyamar dalam tubuh Panji Semirang. Bagian ini, sesungguhnya tahap ketika perkawinan Nadira dan Niko rontok. Bagian-bagian yang mememakai narasi Panji Semirang, menjadi seperti “panggung” bagi kegelisahan Nadira, yang tak hanya psikologis tetapi juga mendekati tahap pencarian orientasi seksualitasnya.
Dua lapis dunia itu, yakni dunia Candra Kirana dan dunia sehari-hari Nadira yang berusaha tegar menghadapi detik-detik terakhir perkawinannya, seperti dua lapis dari diri Nadira, sekaligus menjadi lapisan realitas dan fantasi yang tumpang tindih, saling menyelusup, dan mendedahkan pertanyaan-pertanyaan tentang diri dan identitasnya; adakah ia, “seorang ksatria yang tampan dan jelita, yang tegap dan gemulai, yang bermata elang dan berambut ikal”, “siapa perempuan, siapa lelaki. Bisakah kita membebaskan diri. Dari semua nama-nama yang membatasi tubuh ini.”, dan “dalam beberapa detik, bibirnya sudah bersatu dengan bibirku..” (hal. 172-173).
Memakai Nadira sebagai alter ego narator bukannnya tanpa resiko. Intensitas penceritaan menjadi kuat ketika narator melihat semua persoalan dari dunia Nadira, dan terasa melonggar ketika kisah diturunkan dari luar persfektif Nadira. Misalkan pada bagan Pisau. Bagian ini, yang memakai persfektif Kris, desainer grafis di kantor majalah Tera, cenderung bersifar afirmatif terhadap apa yang telah dialami Nadira. Bahkan, “mata seorang desainer grafis”, yang coba diwujudkan melalui serangkaian gambar dalam kisah, tidak memberi cara pandang lain terhadap karakter Nadira. Begitu pun pada “Utara Bayu” dan “At Pedder Bay”, yang merubakan bagian kisah Arya yang akhirnya menemukan perempuan yang dicintainya.
Nadira, memang menjadi sentrum kisah, yang membuat karakternya yang penuh pergulatan psikologis, menjadi memikat. Ia seperti anak emas dalam keseluruhan kisah ini. Dan, entah kenapa, saya jadi teringat pada kisah angsa emas. Angsa emas yang lama tak saya jumpai. Terbayang, betapa buku ini seperti angsa emas yang berenang dalam telaga sastra kita. Saya menjadi begitu bahagia: karena Nadira membuktikan bahwa angsa emas dalam sastra kita telah kembali. Sungguh beruntung sastra Indonesia dengan terbitnya buku ini.
Jadi ini novel yang masing2 bisa berdiri sendiri seperti cerpen begitu ya?
ngakak agus dewi mukanya kaya asu
agus dewi : iya bisa