– RELASI KUASA DALAM CERITA

Ini tulisan karya Devy Kurnia Alamsyah, yang atas kebaikannya dikirimkan pada saya. Tulisan ini merupakan pembahasan cerpen saya “Tiga Cerita Satu Tema” yang merupakan salah satu cerpen yang termuat dalam kumpulan cerpen berjudul “Potongan Cerita di Kartu Pos”. Cerpen ini menjadi pintu masuk untuk pembahasaan mengenai  relasi kekuasaan melalui analisis wacana yang didasarkan kepada relasi pengetahuan/kekuasaan Michel Foucault. Atas kebaikan Devy, saya diijinkan untuk mengunggahnya di blog ini. Saya hanya melakukan sedikit pengeditan, agar pada bagian awal tak terlalu panjang. Selebihnya, saya membiarkannya utuh. Bagi yang ingin kenal Devy Kurnia Alamsyah dan berdiskusi lebih lanjut, mungkin bisa menghubunginya melalui jejaring facebook, darimana saya juga mengenalnya. Sekali lagi, terimakasih untuk Devy, dan selamat membaca.

Relasi Kekuasaan dalam “Tiga Cerita Satu Tema”

Oleh: Devy Kurnia Alamsyah

“Bila orang menelusuri sejarah umat manusia yang panjang dan kelabu, orang akan menemukan bahwa lebih banyak kejahatan yang menjijikkan yang dilakukan atas nama kepatuhan daripada atas nama pembangkangan.”

–          C.P. Snow

Pendahuluan

Banyak paradigma yang bermunculan akhir-akhir ini terkait dengan dinamika pasang surut perpolitikan Republik Indonesia. Salah satu contoh yang masih koheren adalah kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnain yang berbuntut panjang sehingga kemudian membawa-bawa nama Antasari Azhar, Ketua KPK, dan Susno Duadji, Kabareskrim Mabes Polri, ke pengadilan. Semmua itu, kemudian menjadi perseteruan dua institusi yang secara kelembagaan sama-sama bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pertarungan dua institusi ini, yang dikenal dengan sebutan ‘cicak versus buaya’, mulai mencipta multiinterpretasi di masyarakat.

Wacana “kriminalisasi” kemudian berkembang pesat. Rakyat semakin kebingungan menyikapi setiap pemberitaan. Dua Wakil Ketua KPK, Bibid Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dijadikan tersangka kasus suap dan penyalahgunaan wewenang. Peristiwa ini sontak dibalas oleh masyarakat melalui penggalangan suara di media maya (facebook). Semua itu, sesungguhnya memperlihatkan adanya “pertarungan wacana”. Relasi kekuasaan macam apa yang tengah terjadi sebenarnya? Apa motif yang sebenarnya berada di balik semua ini? Siapakah sesungguhnya yang memegang kuasa atas siapa (dan apa) di negeri ini? Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu mesti menunggu waktu untuk bisa menjawabnya.

Pertarungan wacana seperti itu bukanlah yang pertama terjadi di negeri ini. Masih hangat di ingatan peristiwa tumbangnya rezim Orde Baru dalam hentakan tuntutan multielemen bernama reformasi yang terkait dengan “Kerusuhan Mei 1998”. Banyak asumsi yang beredar seputar peristiwa itu. Selain krisis ekonomi yang meruntuhkan sendi-sendi perekonomian rakyat salah satunya penyebabnya ialah terbunuhnya mahasiswa Trisakti oleh oknum aparat hukum dalam massa aksi mahasiswa kala itu. Satu hal yang mesti diingat ialah Polri saat itu masih menjadi bagian dari TNI. Peristiwa itu tak hanya terekam dalam ranah jurnalistik saja. Karya sastra pun bermunculan. Satu karya berjudul “Tiga Cerita Satu Tema” yang dikarang oleh Agus Noor setidaknya seakan berusaha untuk membangun ingatan kita, para pembaca, akan peristiwa itu. Peristiwa yang akan selalu menjadi bagian kelam dari sejarah pendewasaan bangsa ini.

“Tiga Cerita Satu Tema” merupakan salah satu cerpen yang termuat dalam kumpulan cerpen berjudul “Potongan Cerita di Kartu Pos”. Jika membaca sekilas cerpen ini akan mengingatkan pembaca pada “Trilogi Petrus”nya Seno Gumira Ajidarma (SGA). Agus Noor, yang pernah menerima penghargaan sebagai cerpenis terbaik pada Festival Kesenian Yogyakarta pada tahun 1992 itu, setidaknya mencoba memakai wacana yang sama dengan SGA namun tentu untuk mencipta sensasi yang berbeda. Cerpen ini pengkaji pilih karena muatan wacana mengenai relasi kekuasaan yang terdapat dalam karya tersebut menarik untuk dikaji. Pengkaji mencoba menggali makna tersembunyi yang terdapat dalam cerpen melalui analisis wacana yang didasarkan kepada relasi pengetahuan/kekuasaan Michel Foucault.

Michel Foucault adalah termasuk pengkritik peradaban modern yang cukup tangguh. Baginya peradaban modern telah menciptakan bentuk dominasi baru melalui kekuasaan dan pengetahuan (Best, 1991;34-35). Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh Nietzche yang mengatakan bahwa “keinginan untuk kebenaran dan pengetahuan (will to truth and knowledge) tak bisa dipisahkan dari keinginan untuk berkuasa”. Bagi Nietzche, dunia adalah kehendak untuk berkuasa dan tidak ada selain itu. Berdasarkan itu Foucault kemudian mempertanyakan bentuk-bentuk tradisi modern; pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subjektivitas yang terlihat netral dan objektif tapi ternyata di balik itu merupakan suatu konstruksi kekuasaan dan dominasi. Pemikirannya dianggap sejalan dengan perkembangan postrukturalisme dan posmodernisme walau Foucault sendiri tidak mau dimasukkan ke dalam kategorisasi apapun.

Analisis Foucault terhadap kekuasaan cukup penting mengingat pembantahannya tentang segala sesuatu yang absolut. Kekuasaan bagi Foucault (dalam Yusuf, 2009;21) bukan sesuatu yang sudah ada begitu saja. Kekuasaan adalah relasi-relasi yang bekerja dalam ruang dan waktu tertentu. Kekuasaan memproduksi kebenaran, karena kebenaran berada di dalam jaringan relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran serta menjaga kebenaran tersebut. Kebenaran tidak berada di luar kekuasaan melainkan di dalam. Kekuasaan adalah kebenaran itu sendiri.

Foucault sebenarnya tidak membahas kuasa dalam struktur sosial-politik, kuasa dalam relasi kapitalis-proletar, tuan-budak, atau pun pusat-pinggir melainkan mengenai mekanisme dan strategi kuasa itu sendiri. Ia tak mendefinisikan kuasa itu apa, tapi melihat bagaimana kuasa itu dipraktekkan, diterima dan dilihat sebagai kebenaran. Kuasa, dilihat oleh Foucault, tidak saja bekerja melalui intimidasi dan kekerasan belaka, tetapi melalui aturan-aturan dan normalisasi. Sehingga tak ada pengetahuan tanpa kuasa dan tak ada kuasa tanpa pengetahuan. Pelaksanaan kuasa itu tak lepas dari wacana (diskursus) yang bermain di level kebudayan masyarakat.

Diskursus, bagi Foucault (dalam Adian, 2001;134-135), didefinisikan sebagai sistem inklusi ekslusi yang aturan-aturannya tidak hanya menentukan apa yang bisa dikatakan tapi juga siapa yang bisa mengatakannya. Diskursus tidak lagi representasi kebenaran melainkan produsen kebenaran (agama, politik, sains, militer, dsb). Konsep diskursus ini kemudian membawa kepada pemahaman kebenaran itu sebagai (a) sistem prosedur yang tertata bagi produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi dan operasi dari pernyataan-pernyataan (b) sebagai sistem yang menghasilkan dan mengembangkan rezim kebenaran itu sendiri. Maka nyatalah bahwa kekuasaan itu dipraktekkan melalui wacana (diskursus) dan bagaimana kekuasaan ini tentunya memiliki efek-efek tertentu di mana kekuasaan dan wacana itu terjadi (Selden, 1993; 158).

Dalam kata lain diskursus itu berisikan aturan atau hukum yang beroperasi di belakang berbagai macam statemen yang beragam. Diskursus (Santoso, 2007;175) terkait dengan siapa yang mempunyai hak (status) untuk menyatakan statemen, dari tempat (site) mana statemen itu muncul, dan posisi apa yang ditempati si pengujar statemen tersebut. Sebagai contoh, SBY sebagai Presiden atau Kepala Pemerintahan, adalah yang paling berhak mengatakan negara dalam keadaan Siaga Satu. MUI adalah lembaga non-pemerintah yang memiliki hak untuk melabeli makanan itu halal atau haram, dan bukan melalui Departemen Agama sebagai lembaga resmi pemerintah. LSF adalah institusi yang berhak memotong, menghilangkan dan melarang film-film yang dianggap berbahaya dalam proses edukasi publik. Rektor sebagai Pimpinan Universitas dianggap yang paling sah dalam mengumumkan kenaikan pembayaran biaya perkuliahan.

Lalu dimanakah posisi para demonstran yang mempertanyakan kebijakan pemerintahan SBY? Dimanakah bentuk penolakan publik ketika film 2012 dilarang oleh MUI? Dimanakah kemudian film Balibo Five kemudian diputar setelah dilarang LSF diputar di Jakarta International Film Festival? Dimanakah peran mahasiswa yang menolak kenaikan harga perkuliahan? Di sinilah letak menariknya gagasan Foucault.

Kekuasaan itu ada di mana-mana, bagi Foucault (dalam Sarup, 2008;123-124), dan tercipta setiap saat. Di mana ada afirmasi kekuasaan maka di sana ada resistensi. Dalam pemahaman Foucault, kekuasaan sosial memiliki pengaruh yang cukup besar dan manusia hanyalah manifestasi dari jaringan kekuasaan kausal yang eksternal. Kekuasaan akhirnya bersifat imanen dalam setiap hubungan sosial. Semua hubungan sosial adalah hubungan kekuasaan, bagi Foucault. Di sini jelas bagaimana jaringan-jaringan sosial kemudian menempatkan resistensinya terhadap praktik kekuasaan. Bagaimana kemudian para demonstran membentuk aliansi-aliansi berdasar kesamaan konsep dan tujuan dalam menyampaikan tuntutan mereka. Bagaimana kemudian tempat pemutaran alternatif menjadi suatu bentuk perlawanan terhadap hegemoni pemerintah yang melarang film-film tertentu. Resistensi dan kekuasaan dilihat ibarat dua sisi mata uang. Saling mengisi dan saling menolak. Saling merebut dan saling mempertahankan.

Panoptikon kemudian menjadi istilah yang dipakai oleh Foucault (dalam Sarup, 2008;122) sebagai metafora sentralisasi kekuasaan. Panoptikon, meminjam konsep penjara Bentham, adalah strategi pengawasan terpusat (surveillance control) dimana yang mengawasi lebih superior dari pada yang diawasi. Melalui mekanisme inilah masyarakat modern diarahkan pada penciptaan subjek yang mengatur diri, terisolasi dan terkendali. Subjek (tubuh) akhirnya terdisiplinkan melalui mekanisme kontrol yang terpusat ini. Sebagai contoh, PNS di daerah dikontrol untuk tidak kritis terhadap kebijakan pemerintah pusat dengan menciptakan ketergantungan terhadap SK mereka. Pencabutan terhadap SK bisa menjadi konsekuensi jika resisten terhadap pusat. Mahasiswa yang mendemo pihak rektorat bisa di-DO sedemikian rupa, sebagai contoh lain. Metode pendisiplinan subjek (tubuh) yang menciptakan kepatuhan (yang dikontrol melalui institusi tertentu) seperti inilah yang dimaksud dengan panoptikon. Melalui mekanisme ini penundukkan subjek melalui suatu sistem tertentu bisa tercapai.

Pembahasan

Berdasar pemahaman di ataslah cerpen “Tiga Cerita Satu Tema” akan dianalisis. Sesuai dengan judulnya, terdapat tiga cerita  yaitu; Pesan Seorang Pembunuh, Kisah Seorang Penembak Gelap, Ia Ingin Mati di bulan Ramadhan Ini… , yang memiliki satu benang merah. Ketiga cerita, yang ditulis Agus Noor di Jogjakarta sepanjang 1998-2005, itu secara garis besar bercerita seputar penembak gelap. Di sini penembak gelap dinyatakan sebagai bagian dari profesi yang didasarkan kepada kepatuhan terhadap institusi dimana “si penembak” itu mengabdi ketimbang sebagai suatu praktek ekonomi. Di sini “penembak” dapat diasumsikan sebagai tokoh eksekutor di lapangan, bukan sebagai tokoh intelektualnya.

Dalam penganalisaan nanti akan memfokuskan kepada mekanisme dan strategi kontrol yang ditunjukkan oleh beberapa elemen fiksi di dalam cerpen; karakter dan setting. Dalam dua cerita awal sudut pandang penceritaan memakai sudut pandang orang pertama (first point of view) sedangkan cerita ketiga memakai sudut pandang orang ketiga (third point of view). Setting yang berbeda dari setiap cerita akan dikaitkan dengan peristiwa politik yang pernah terjadi di tanah air seperti kasus Petrus, Kerusuhan Mei 1998 dan Pembunuhan Kiai. Wacana kekuasaan yang ditemukan di dalam cerpen akan dikaitkan dengan ragam wacana perpolitikan di Indonesia.

Di cerita pertama, Pesan Seorang Pembunuh, karakter “Aku” menjadi tokoh sentral. Dengan setting yang futuristik kita seakan dibawa ke suatu jaman yang sudah advance teknologinya. Di cerpen pertama pengaruh teknologi cukup mencuri perhatian. Seperti misalnya tokoh “Aku” yang bisa berganti-ganti wajah dan peran. Bahkan tubuh cybernetic yang ia miliki menyimpan makna tertentu terkait dengan teknologi dominasi. Kita akan membahas relasi kekuasaan ini satu persatu.

Kalimat-kalimat seperti; //Aku tak bersejarah. Sejauh yang kuingat, beginilah aku: dingin, efisien dan selalu bergerak cepat melaksanakan setiap perintah. Rasanya seperti mesin… mesin pembunuh. Mesin yang digerakkan kekuatan entah apa, untuk sebuah tujuan yang juga tak benar-benar aku tahu (Noor, 2006;81)// setidaknya mengindikasikan dua hal; (a) unsur militeristik yang kental dan (b) tujuan politik tertentu. Di poin pertama, “Aku” yang merasa dirinya seperti mesin dapat diartikan bagaimana kepatuhan kepada perintah adalah sebuah kewajiban di dalam militer. Prajurit tak punya hak untuk membantah perintah atasan dan tak punya hak menanyakan tujuan di balik perintah itu sendiri. Ketika perintah datang yang ada hanya “Siap laksanakan!”. Ada semacam dehumanisasi yang dilakukan melalui institusi dimana manusia kemudian dirubah menjadi “mesin pembunuh” yang berdarah “dingin” dan “efisien” dalam melaksanakan “perintah”. Kalimat “aku tak bersejarah” mengandung pengertian bahwa nasib yang berada pada hirarki terendah (prajurit) memiliki nasib untuk tak dikenal; tak menempati ruang ingatan. Ia seakan dianggap tidak pernah ada walaupun mencipta kinerja yang nyata. Jika dibandingkan ke setiap kasus “Petrus” seakan-akan mereka yang melakukan penembakan hilang tak berbekas. Ada “pendiaman” atau “pembiaran” yang dilakukan oleh suatu instansi tertentu. Relasi kekuasaan di sini bersifat hirarkis; dari atas ke bawah.

Di poin kedua, apakah yang tersembunyi dari setiap tindakan penembakan misterius? Ketika melihat kembali wacana Petrus, tentu yang akan terbayang adalah mayat-mayat bertato yang identik dengan pelaku kriminal. Tindakan “preemptive” ini pernah diberlakukan pemerintahan Orba di tahun 1980an yang memiliki tujuan menjaga stabilitas. Gangguan keamanan dapat diminimalisir dengan memberikan shock-therapy pada pelaku kriminal. Namun jika dilihat melalui kacamata HAM tentu tindakan ini sudah sangat melanggar. “Hukum militer” telah mendahului persidangan hukum itu sendiri. Ada dua peran institusi yang didahului dan disingkirkan melalui peristiwa ini, yaitu peran Polri dan Kejaksaan.

Di kalimat berikutnya; //bila kamu saat ini bangga menjadi demonstran, aku hanya bisa berpesan: waspadalah. Bila kamu saat ini terus bersikeras menjadi pejuang keadilan, aku pun hanya bisa mengingatkan: waspadalah… setiap saat aku bergerak berpindah-pindah. Kau berpapasan denganku, tapi kau tak mengenaliku. Tapi aku mengenalmu. Aku selalu mengawasimu. Aku selalu mengamat-amatimu, lewat teleskop pada senapanku ini// (Noor, 2006;89-90) juga memiliki beberapa asumsi; (a) target atau sasaran berdasar pada oposisi biner dan (b) strategi atau metode pengawasan yang dipakai. Poin pertama ditunjukkan oleh kalimat “demonstran” dan “pejuang keadilan”. Dua sasaran itu seakan menjadi bagian tak terpisah selama proses demokrasi negeri ini. Penculikan dan penghilangan mahasiswa (dan aktivis) lainnya pernah menjadi satu taktik di era Orde Baru. Metode ini didasarkan kepada pemahaman tradisional yang menganggap bahwa mahasiswa itu tugasnya adalah belajar, bukan berpolitik. Ketika mereka ikut membicarakan politik dan kemudian terlibat politik praktis, maka ada pihak yang merasa kekuasaannya terganggu. Ketakutan akan instabilitas inilah yang kemudian memantik drama penculikan aktivis-aktivis. Pemerintah itu baik dan aktivis itu buruk, menjadi pilihan biner saat itu. Satu nama yang hari ini masih belum tahu di mana dan bagaimana kabarnya ialah penyair Wiji Thukul. Dugaan kuat ia termasuk ke dalam daftar korban “diamankan” di zaman Orba mengingat puisi-puisinya yang vokal dalam mengkritik pemerintahan. Pembunuhan terencana terhadap Munir, sebagai salah seorang “pejuang keadilan” yang bergerak di bidang HAM juga semakin mengukuhkan praktik-praktik kuasa yang cenderung represif. Oleh karena itu ada semacam nada ancaman, seperti yang diperlihatkan pada kata “waspada” yang terus menerus diulang. Kata ini menegaskan sebuah posisi kekuasaan yang terus menerus mempertahankan kekuasaan itu sendiri. Walau mesti melalui tindakan yang negatif seperti penculikan, pemukulan hingga ke penghilangan nyawa.

Pada poin kedua ditegaskan oleh kalimat“aku selalu mengawasimu. Aku selalu mengamat-amatimu, lewat teleskop pada senapanku ini”. Mekanisme pengawasan, panoptikon, sangat kentara di sini. Melalui “teleskop” dan “senapan” dapat dianalogikan terhadap sistem sentralisasi yang dijalankan pemerintah. Peran hegemoni (non fisik) ditunjukkan melalui kata teleskop sementara represivitas (fisik) ditunjukkan melalui kata senapan. Dua kata ini menjelaskan bagaimana mekanisme kontrol yang dijalankan oleh pemerintah Orba.

Di cerita kedua, Kisah Seorang Penembak Gelap, masih bercerita tentang seorang penembak jitu ditugaskan pada saat mahasiswa sedang melakukan aksi massa. Setting cerita mengingatkan pembaca pada Tragedi Mei 1998. Dan di peristiwa itu “Aku” mesti melaksanakan tugasnya dalam melindungi negara. Sebuah peristiwa tak terhindarkan kemudian menjadi akhir yang tragis di akhir cerita.

“Aku” di cerita kedua diperlihatkan lebih manusiawi ketimbang “Aku” di cerita pertama yang dikesankan layaknya mesin. “Aku” di cerita kedua seperti orang yang tunduk dan pasrah pada perintah walau di sudut hatinya ia tak menyenangi pekerjaan itu. Kalimat //kadang aku ingin mengakhiri semua ini. Tapi bisa apa aku? Berdagang aku tak pintar. Jadi petani aku tak punya pengalaman. Paling jadi satpam…lalu mau jadi apa aku? Karena itulah, meski sering diusik rasa bersalah, kuanggap semua ini memang sudah takdir yang mesti aku jalani// (Noor, 2006;93) menunjukkan pergulatan batin tokoh “Aku”. Seakan-akan ia tak memiliki pilihan hidup yang lain. Ada semacam nada pengagungan pada profesionalitas pada kalimat-kalimat di atas, bahwa menjadi penembak jitu adalah tugas seorang profesional dan ia bangga akan itu walau di hatinya ia tahu itu salah. Pernyataan ini dapat didukung oleh kalimat selanjutnya yang mengatakan, //bagaimana pun aku ini juga seorang suami dan ayah dari dua orang anak. Mereka perlu makan, bukan? Seperti juga pegawai pada umumnya, aku hanya berusaha bekerja keras dengan baik, giat dan taat. Dan karena keahlianku hanya menembak, jadilah aku menembak// (Noor, 2006;94). Justifikasi selalu muncul yang didasarkan kepada tuntutan realitas (pekerjaan, keluarga) yang selalu menjadi elemen tak terpisahkan dalam pembenaran akan tindakan.

Profesionalisme lagi-lagi menjadi pembenaran pada kalimat di atas. Sehingga hal-hal yang terkait dengan //ribuan gali aku tembak, telah puluhan tokoh oposisi aku lenyapkan, telah banyak aktivis pergerakan aku culik dan bereskan// (Noor, 2006;94) hanyalah bagian dari pekerjaan sehari-hari yang seakan-akan normal. Proses pendisiplinan terhadap subjek (tubuh) telah menjadi prilaku yang kemudian termanifestasi dalam keseharian. Sebuah proses normalisasi yang terintegralisasi melalui program-program kepemerintahan yang di terapkan di setiap level pekerjaan. “Aku” dengan segala aktivitasnya pada akhirnya mesti berhadapan kembali dengan realitas ketika Iza, anaknya, menjadi salah satu korban penembakan aparat ketika para mahasiswa sedang berunjuk rasa. Tak penting dibahas siapa yang menembak di Iza di dalam cerita, namun yang pasti sebuah potret ironi sebuah bangsa tercurah di cerita ini. Seakan tak satu pun peluru yang diproduksi di negara ini yang dilontarkan kepada musuh dari luar. Peluru itu hanya dikonsumsi untuk “musuh” yang berasal dari dalam; anak bangsanya sendiri. Inilah peristiwa yang selalu berulang terjadi dalam sejarah bangsa ini, peristiwa yang justru terjadi setelah bangsa ini mendapatkan kemerdekaannya.

Di cerita terakhir, Ia Ingin Mati di Bulan Ramadhan Ini…, penokohan “Aku” diganti melalui sudut pandang ketiga: “Ia”. Setting mengambil wacana penangkapan dan pembunuhan kiai-kiai di beberapa daerah di Jawa beberapa tahun silam. “Ia” dalam cerita ini diperlihatkan menderita akan perbuatan-perbuatannya di masa lalu. “Ia” seakan dikejar-kejar oleh rasa bersalahnya sendiri. Rasa yang terus mengganggunya sehinga “Ia” hanya ingin sesuatu tertimpa pada dirinya, yaitu mati di bulan Ramadhan ini.

Paradoksitas karakter ditampilkan melalui karakter “Ia”. Kenikmatan membunuh yang “Ia” rasakan ditunjukkan oleh kalimat //Ia selalu terpesona setiap kali melihat pias pucat ketakutan wajah korban ketika merasakan kematian mengecup pelan-pelan…// (Noor, 2006;104). Kalimat itu memperlihatkan sebuah perasaan ekstase yang didapat setiap kali “Ia” berhasil menyelesaikan pekerjaannya itu. Kesenangan yang akhirnya malah menjadi bumerang ketika “Ia” menemukan korban yang ternyata tak memiliki ketakutan menghadapi kematiannya sendiri. “Ia” mulai depresi setelah itu. Siapakah yang berhasil membuat “Ia” seperti itu?

“Ia” berubah setelah sebuah perintah ia terima: //bunuh Kiai Karnawi// (Noor, 2006;106). Sebagai seorang trained-killer tentu “Ia” memulai dari semacam investigasi sebelum memutuskan metode apa yang tepat yang mesti ia lakukan untuk menghabisi targetnya. //Ia terus memandangi Kiai Karnawi yang memberi pengajian…Kiai Karnawi bicara soal kemuliaan bulan Ramadhan. Beruntunglah ia yang mati di bulan Ramadhan. Mati di bulan Ramadhan adalah mati yang mulia. Dan ia tersenyum. Mencibir. Getir. Apakah seorang pembunuh bayaran juga akan mendapat kemuliaan bila mati di bulan Ramadhan?// (Noor, 2006;107). Kalimat-kalimat inilah yang menjadi isu utama dalam cerita ini.

“Ia” berubah drastis dari seorang pembunuh profesional yang sangat percaya diri dan sangat tahu akan apa yang ia lakukan menjadi personal yang selalu dirundung gelisah setelah mendengar Kiai Karnawi berkata, //”aku tahu, kamu mau membunuhku. Aku ingin mempermudah pekerjaanmu… Kamu bisa membunuhku di sini. Tidak usah membuangku ke jurang dengan mobil itu. Sayang ‘kan mobil mahal. Nanti bisa dipakai ngompreng bila sampeyan memang berniat berhenti jadi pembunuh bayaran”// (Noor, 2006;107). Kiai itu kemudian minta untuk melaksanakan salat terlebih dahulu, kemudian berujar kembali: //”sekarang, lakukan tugasmu. Mungkin Allah memang memilihku mati di bulan Ramadhan. Alhamdulillah”// (Noor, 2006;108).

Pernyataan di atas menyiratkan (a) kuasa bahasa sebagai simbol penaklukan terhadap suatu represivitas penguasa (b) sebuah pengetahuan/kekuasaan tandingan. Poin pertama dan kedua jelas sekali diperlihatkan dalam penggalan-penggalan kalimat di atas. Wacana tanding terutama yang dikaitkan dengan kematian justru dengan telak menyerang relung terdalam karakter “Ia”. Ketika kematian menjadi sesuatu yang didambakan bukan mencipta ketakutan malah menjungkir balikkan keadaan. Yang kuat menjadi terlihat lemah, yang lemah malah menjadi yang terlihat kuat. Penguasaan wacana menjadi sesuatu hal yang penting dalam resistensi terhadap afirmasi kekuasaan itu sendiri, seperti yang diperlihatkan karakter “Kiai Karnawi” itu. Justru Kiai Karnawi lah yang berhasil membunuh “Ia”, bukan sebaliknya. Karena di sini semua serba berbalik arah, justru si Kiai-lah yang berhasil mendapatkan keinginannya untuk mati di bulan Ramadhan; bulan yang ia percayai sebagai bulan penuh kemuliaan. Kemuliaan menjadi kata kunci di cerita ini. Sesuatu yang kemudian menjadi pengharapan “Ia”; ia juga ingin mati di bulan Ramadhan.

Kesimpulan

“Tiga Cerita Satu Tema” menjadi sebuah cerita yang menarik jika dihubungkan dengan kompleksitas relasi kekuasaan. Setidaknya ada beberapa poin yang bisa diambil terkait dengan wacana pengetahuan/kekuasaan; (a) strategi pendisiplinan yang terinternalisasi melalui institusi (b) sebuah pembuktian bahwa di mana ada praktik kekuasaan di sana ada resistensi (c) mekanisme kontrol akan kekuasaan itu sendiri; represi dan hegemoni (d) kuasa bahasa sebagai bentuk wacana tanding dan (e) semacam teguran untuk selalu waspada terhadap wacana politik.

Poin-poin di atas tentu bisa dikaitkan dengan bagaimana situasi dan kondisi sosial sebuah negara itu sendiri. Jika dikaitkan dengan sejarah, bagaimana krisis moneter yang menimpa di tahun 97-98 telah mencipta depresi tak berkesudahan di masyarakat. Kegelisahan yang seakan pincang ketika melihat ketimpangan sosial yang menganga luar biasa antara kaum berpunya dan tak berpunya. Kondisi inilah yang menciptakan kegusaran dan ketidakpercayaan masyarakat, terutama mahasiswa dan aktivis, akan peran pemerintah Orba kala itu. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, hal yang sepertinya sengaja untuk tak dimasukkan ke dalam teks, dianggap sebagai biang dari segala prahara keterpurukan bangsa. Keresahan dan kritik terhadap hal inilah yang kemudian direpresentasikan dalam “Tiga Cerita Satu Tema” karangan Agus Noor ini.

Daftar Pustaka

Adian, Donny Gahral. 2001. Arus Pemikiran Kontemporer. Jalasutra; Jogjakarta

Best, Steven dan Douglas Kellner. 1991. Postmodern Theory: Critical Interrogations. The Guilford Press; New York

Noor, Agus. 2006. Potongan Cerita di Kartu Pos. Kompas; Jakarta

Santoso, Listiyono (ed). 2007. Epistemologi Kiri. Ar-Ruzz; Jogjakarta

Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme&Posmodernisme. Jalasutra; Jogjakarta

Selden, Raman. 1993. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. The University Press of Kentucky; Lexington

Yusuf, Akhyar. 2009. Politik Pengetahuan, Episteme, dan Kematian Manusia: Refleksi Pemikiran Posmodernisme Michel Foucault. Materi Kuliah Pascasarjana; FIB UI

3 Tanggapan to “– RELASI KUASA DALAM CERITA”


  1. 1 rairahmanindra Desember 22, 2009 pukul 11:43 am

    saya sangat suka tulisan ini.mengajak berdialektika dan membuat saya makin tertarik dgn cerpen2 mas agus.

  2. 2 al-Karawangi Desember 23, 2009 pukul 12:55 pm

    “Tiga Cerita Satu Tema”: perspektif Michel Foucault menjadi semakin menarik untuk dikaji dan dapat menumbuhkan sifat kritis, nasionalis dan jiwa konstruktif bagi bumi nusantara,,,

  3. 3 Agus Dwi Putra Januari 12, 2010 pukul 5:13 am

    pembahasan yang rumit. saya lebih suka membaca cerpennya 🙂


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s




Point your camera phone at the QR code below : qrcode enter this URL on your mobile : http://buzzcity.mobi/agusnoorfiles
Desember 2009
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031  

Archives Files

Catagories of Files


%d blogger menyukai ini: