AKU tengah duduk di kafe di sebuah mall membunuh kejenuhan dengan secangkir cappuccino ketika sayup-sayup berdesir bunyi kelepak, lembut di telinga. Aku mendongak, melihat bayangan langit pada kubah kaca yang dipenuhi pohon-pohon kurma dan unta dengan kafilah di punggungnya, bergelantungan di besi-besi konstruksi yang dicat warna-warni. Kulihat unta-unta itu bergoyangan, bagai ada tangan yang menyentuhnya.
Kelepak itu! Jelas mendesir di sela keriuhan celoteh gadis-gadis, alunan lagu yang bersliweran dari tiap counter, jerit anak-anak minta mainan dan kemerosak HT satpam. Kelepak itu, kelepak itu, mengingatkanku pada Kakek, ketika suatu malam tergesa-gesa membangunkanku.
Umurku 7 tahun saat itu. Ketika tengah malam Kakek mengguncang tidurku. “Bangun, buyung!” Masih mengantuk, tapi Kakek menyeretku ke pekarangan, menepuk-nepuk pundakku. “Bukankah kamu pingin mendengar kelepak sayap Jibril?!” Masih mengantuk, aku duduk di tumpukan kayu menyaksikan Kakek berjalan mengitari pekarangan. “Kamu mendengarnya, buyung?” Masih mengantuk, kudengar Kakek berkata, tetapi aku begitu kaget ketika menyadari Kakek sudah tak ada. Suara itu, jelas suara Kakek.
Di mana Kakek? Aku begitu ketakutan, merinding dicekam kesunyian dan kegelapan. Desir angin di dedaunan cukup membuatku tergeriap. “Dengarlah, buyung…” bisik Kakek di belakangku. Aku menoleh. Tak ada Kakek. Tapi suara itu? Seperti dengung angin dalam botol. Aku kemudian hanya mendengar gema kelepak sayap kelelawar, membuat malam seperti bergetaran dan cahaya bulan berpendaran. Ranting dan dedaunan jadi berkilatan, batu-batu seperti menyimpan cahaya, menyala redup. Seperti ada yang melintas di udara, dan bayangannya berkelebat di tanah, membuatku seketika mendongak. Kulihat langit penuh bintang, seakan penuh kabut dan beku, membuatku berfikir betapa Kakek tengah sembunyi di sana, mengarungi gugusan cahaya. Kuingat cerita Kakek perihal malaikat yang berdzikir menyalakan bintang-bintang, melayang-layang di keluasan langit membawa ayat-ayat Tuhan.
Tapi, tak kulihat malaikat melayang-layang di antara bintang-bintang. Yang kulihat justru Kakek yang tengah berjalan mendaki undak-undakan cahaya, dengan jubahnya yang berlambaian, memasuki langit yang perlahan membuka.
“Kakeeeekkkk!!!” Aku berteriak memanggil sekuat tenaga. “Kaaakkkeeekk!!!”
“Ada apa, buyung?” Kakek telah berdiri di sampingku, begitu saja, serta merta. Belum lagi habis keherananku, Kakek menggandengku masuk.
“Belum mengerti jugakan kamu, buyung, kalau semua suara di dunia ini berasal dari kepak sayap Jibril?” Kakek mengusap keningku. “Kamu mesti belajar memusatkan pendengaranmu. Kamu mesti memilah mana yang sesungguh-sungguhnya suara, dan mana yang cuma gema. Desir angin itu, buyung, juga cericit tikus tanah, bunyi jangkrik dan kemerosak ranting jatuh, hanyalah gema kelepak sayap Jibril. Sekarang tidurlah. Besok malam Kakek akan membangunkanmu lagi. Tidurlah.”
Namun, sampai dini hari, aku tak bisa tidur. Aku selalu digoda untuk bisa mendengar suara kelapak itu. Sampai ketika sayup azan subuh merambat di kejauhan, aku seperti mendengar kelepak sayap di balik jendela, mendesir lembut di telinga.
Desir kelepak sayap itulah, yang kini aku dengar lagi, membuatku begitu terkesiap. Alangkah menyenangkan, kalau di tengah keramaian mall ini, Jibril tiba-tiba muncul. Tetapi, kalau memang Jibril benar-benar muncul di mall ini, apakah orang-orang akan peduli? Jangan-jangan malah akan diusir satpam! Jibril, dengan sayap lembut berjuntaian, boleh jadi hanya dianggap seorang yang tengah mencari sensasi dan perhatian. Aku pernah melihat seorang senimang yang mengadakan performance art dengan memakai sayap bulu-bulu di punggungnya, berjalan-jalan keliling mall, membagi selebaran berisi ajakan untuk peduli pada persoalan kemanusiaan ketimbang sibuk berbelanja – tetapi orang-orang hanya memandang dan menanggapi selintasan. Orang-orang lebih menaruh perhatian pda leaflet yang dibagikan para sales girl berpakaian mini dan ketat yang menawarkan produk minyak wangi baru. Yeah, sudah pasti, seperti aku, orang-orang itu datang ke pusat perbelanjaan pastilah tak mau memusingkan diri dengan segalam macam tetek bengek persoalan kemanusiaan. Orang-orang ke sini untuk membunuh kejenuhan dan membeli apa saja yang memang menggoda untuk di beli meski tak terlalu butuh dan penting benar. Di tengah kesumpekan hdup, mall jadi oase impian yang bisa membuat kita meyakin-yakinkan diri betapa hidup ini memang juga menyenangkan, dengan membeli pakaian, sekadar jajan dan jalan-jalan atau pacaran. Inilah tempat kita membunuh kesepian. Bukankah kesepian merupakan komditas paling mengunungkan? Orang-orang kesepian adalah pasar yang menguntungkan. Orang akan membeli apa pun asal bisa mengusir sepi, asal bisa memperoleh sedikit arti, semacam usaha menghibur diri: bahwa ia masih manusia yang bisa merasa bahagia. Merasa ada.
Kembali kelepak sayap itu mendesir dan bergema di telinga, dan astagfirullah, kulihat Jibril duduk di punggung unta gabus yang digantungkan pada konstruksi yang kini jadi terlihat seperti labirin di keluasan langit biru. Ya, Allah, benarkah itu JIbril? Sayapnya yang kukuh menjuntai lembut. Dan itu, ya Allah, bukankah itu Kakek? Berdiri bersandar pada pohon kurma gabus yang tergantung bergoyangan. Sungguh menakjubkan. Bayangan senjan menangkup kubah kaca, membuat sosok Kakek terlihat samar-samar. Lalu, kusadari, betapa kubah kaca itu perlahan-lahan membuka, latas menjelma padang pasir dengan bayangan senja kuning kemerah-kemaran. Kulihat una-unta dari gabus itu bergerak hidup, berjalan beriringan di bawah cahaya senja, menembus angina berdebu, melintas di atasku yang takjub tertimbun kebosanan. Kulihat Jibril yang masih saja duduk di pinggung unta, diiringi Kakek dan sekawanan unta, berjalan mengapung di langit-langil mall, kemudian menembus kubah kaca, lenyap…
Saat itu, segera aku menyadari, orang-orang rebut karena unta-unta gabus yang bergelantungan raib seketika.
“Barusan masih menggantung!”
“Lihat sendiri, tak ada lagi, kan?”
“Ada yang ngambil kali.”
“Nggak mungkin. Dari tadi juga nggak ada sispa-siapa di atas sana.”
“Tapi lihat sendiri kan, benar-benar lenyap begitu saja!”
Aku ikut mendongak. Unta-unta gabus yang bergelantungan di langit-langit mall itu memang sudah tak ada.
KUCERITAKAN kejadian itu pada Ayah. “Bukankah itu luar biasa?” kataku. Ayah hanya menggeremeng pendek. Sementara aku terus bercerita dengan ketakjuban meluap-luap, tanpa menyadari kalau Ayah tak begitu peduli.
“Kulihat Kakek membumbung, lenyap di telan langit yang keemasan. Sementara kelepak sayap Jibril terus berderisan. Saat itulah Kakek…”
“Sudahlah!” potong Ayah. Tajam menatapku. “Kau tahu, si tua bangka itu sudah musnah jadi tanah.” Ayah mendengus. “Sekarang pergilah!”
Aku mundur,, menyadari betapa Ayah tak pernah bisa berdamai dengan Kakek. Aku ingat, ketika dulu semasa kanak-kanak, aku bercerita soal soal Kakek yang mengajakku keluar malam-malam untuk mendengarkan suara sayap Jibril, Ayah langsung berteriak gusar, “Jangan dengarkan si tua bangka itu. Masuk kamar dan belajar!”
Beberapa hari berselang, kudengar Ayah memaki-maki Kakek. Ayah tak suka mengajariku hal-hal yang menurutnya hanya klenik, takhayul. Sejak itu, Ayah berusaha menjauhkan aku dari Kakek.Setiap aku berusaha mendekati Kakek yang selalu duduk-duduk di pekarangan belakang, Ayah langsung memanggil dan menyuruhku sepaya masuk kamar. Ayah mengunci pintu kamarku, supaya malam-malam Kakek tak masuk dan membangunkanku. Tetapi, selalu, malam-malam, Kakek telah berada di kamarku. Selalu kudapati Kakek sudah duduk di tepian ranjang, mengusap-usap kepalaku dengan lembut, hingga kurasakan hawa hangat merambat di ubun-ubunku, hawa hangat yang membuatku mengantuk dan merasa mengapung. Saat mataku dirambati kantuk, kulihat wajah Kakek dipenuhi cahaya. Seperti hendak menghantarku ke alam mimpi yang penuh keajaiban, dengan suara pelan Kakek akan bercerita tentang kisah-kisah mistis yang selalu menakjubkanku.
Tentu saja, aku tak menceritakan semua itu pada Ayah.
AKU masih terbayang-bayang peristiwa kemunculan Kakek bersama Jibril di mall itu, yang membuatku jadi kembali teringat hari-hari sesudah Kakek meninggal. Malam-malam, setelah Kakek dikuburkan, aku masih mendengar langkah Kakek yang selalu berjalan setengah menyeret kakinya, hingga menimbulkan suara srek srek srek saat menyampar dedaunan kering di pekarangan. Kudengar juga lamt-lamat percakapan kakek dengan entah siapa di luar. Tak ada keberanianku membuka jendela untuk mengetahui dengan siapa Kakek bicara. Aku pun kerap mimpi, Kakek mendaki undakan cahaya, neik ke langit yang dipenuhi cahaya cerlang keperakan.
Tetapi kenangan tentang Kakek perlahan-lahan kian menjauh, ketika Ayah kian menyibukkanku dengan bermacam kegiatan sekolah. Apalagi Ayah memang sangat tak suka apabila kami –aku, adik dan kakakku – bertanya atau bercakap-cakap membicarakan Kakek. Kemudian kusadari, betapa cara Ayah mendirik kami, adalah sebuah cara membunuh Kakek dari ingatan kami. Ayah memang tak terlalu menghargai Kakek, itu aku tahu setelah duduk di SMA.
Rupanya, bagi Ayah, Kakek – yang adalah ayah kandung Ayah – tak lebih seorang pemalas, yang sepanjang hari hanya melamun dan bertingkah aneh. Kakek sering berhari-hari pergi, entah ke mana, yang kalau pulang tak pernah membawa apa-apa selain benda-benda yang menurut Ayah tak berguna dan tak berharga. Di mata Ayah, Kakek hanya menyengsarakan keluarga. Yang tak jelas apa pekerjaannya. Yang membuat Nenek mesti banting-tulang meladeni kebutuhan Kakek dan keenam anaknya, yakni Ayah dan adik-adiknya. Sebagai anak tertua, Ayah menghabiskan masa kanak-kanak sampai remajanya dengan membantu Nenek – ibu kandung Ayah – berjualan kue carabikang dan serabi, sementara Nenek jual kupal lengko di dekat pasar. Bagi Ayah, Kakek hanyalah seorang ayah yang cuma pintar omong soal kepasrahan menjalani hidup, sementara setiap hari mereka harus maka, membayang hutang beras, dan tetek-bengek segala macam kebutuhan hidup yang membuat mereka dari hari ke hari kian terbelit kebutuhan konkrit. Ketika Nenek meninggal karena penyakit paru-paru, Ayah menganggap itu akibat ketidakbecusan Kakek ang tak pernah mampu membawa Nenek berobat dan opname di rumah sakit di kabupaten. Sejak itu Ayah nyaris tak bernah bercakap-cakap dengan Kakek. Dan seperti hendak menghindarkan diri dari Kakek, Ayah semakin ulet bekerja, sekaligus kian tak menghomati Kakek.
“Laki-laki yang tak bisa menghasilkan uang, lebih baik mati sejak dini!” Itu ditanamkan Ayah pada semua anaknya.
Aku tak menganggap sikap Ayah salah. Karena bagaimana pun Ayah telah mengentaskan anak-anaknya menjadi orang yang cukup terhormat. Kalau bukan karena keuletan Ayah mendidik kami dengan segala macam kepraktisan hidup yang diyakininya, barangkali aku dan saudara-saudaraku masih jualan kupat lengko. Kara cara mendidik Ayahlah, boleh dibilang kami jadi sangat menghargai pentingnya uang. Yang penting kaya dulu, baru yang lainnya, begitu tegas Ayah. Apa boleh buat, orang kaya kini memang lebih dihormati.
Tetapi, sekeras apa pun Ayah mencoba menjauhkanku dari ingatan tentang Kakek, aku tak pernah sepenuhnya menyalahkan Kakek. Mungkin ini karena kedekatanku dengan kakek. Dibanding anak Ayah lainnya, aku memang paling dekat dengan Kakek. Kenangan pada kakek memang telah menjadi masal silam yang timbul tenggelam dalam keriuhan kerja. Tetapi seringkali kenangan itu muncul begitu saja bagai gema genta yang datang dari ingatan dan kerinduanku pada Kakek yang tak dengan gampang aku lupakan.
Dan kemunculan kakek di mall itu seolah menegaskanku tentang kenangan yang selama ini diam-diam ingin aku hirup kembali, seakan-akan aku mencium kembali bau harum kopri tubruk Kakek ketika dia duduk-duduk di teras bersandar di kursi bambu. Disesah kejenuhan seperti ini, aku tiba-tiba begitu merindukan saat-saat bersama kakek bersijengkat keluar kamar, berdebar karena takut Ayah akan terbangun. Kini Kakek seperti ingin menemuiku. Apakah itu bukan bayangan kesepianku? Ataukah Kakek memang kembali mengingatkanku mengenai hal-hal yang tak cukup diatasi dengan hidup yang berkelimpahan? Selama ini Ayah selalu mengajariku untuk sungguh-sungguh menyintai uang, uang, uang dan uang. “Itulah kebahagiaan, anakku,” begitu selalu kata ayah, sambil merentangkan kedua tangannya yang menghamparkan puluhan perusahaan. Kuakui, Ayah memang pekerja keras. Ayah adalah kepraktisan. Ialah ketangkasan dan keuletan menumpuk uang. Sementara Kakek, barangkali, kedalaman sunyi lubuk hatiku. Seperti ada gema panjang dalam lubuk kesunyian itu, yang entah kenapa kini terasa mengusap hidupku yang nyaris datar dan monoton. Mungkin aku berlebihan. Mengada-ada. Tetapi kelepak sayap yang kudengar itu…
Sepanjang perjalanan pulang, aku seperti mengalir dengan semua kenangan.
“KOK masih pakai mobil ini? Katanya hari ini sudah ganti!” Istriku cemberut menyambut kedatanganku. Aku mendesah, mencoba tak peduli.
“Mas, gimana, sih!”
Aku langsung masuk kamar. Capek. Pingin tidur.
“Saya kan sudah cerita sama teman-teman arisan, kalau hari ini saya sudah pakai mobil baru. Denger enggak, heh? Gengsi dong…Mas nggak usah pura-pura tidur gitu, deh! Begitu ya caramu merhatiin istri. Kok aneh, pasti habis ketemu pacar lama, ya! Pantesan tadi aku ele[on ke kantor nggak ada. Kalau sudah bosen bilang saja. Cerai juga enggak papa kok. Yang penting mobil barunya, beliin dulu!”
Hidup macam apakah ini?
Kuambil sebotol brandy, jengah menghindari ocehan istriku. Aku dudul di balkok luar, memandang dengan perasaan kosong sepotong bulan yang terapung bagai perahu. Kukira perempuan itu sudah mendengkur. Hmm, apakah suara dengkur juga berasal dari sayap jibril. Kuteguk brandy, seperti kuteguk kesepianku. Bayangan keemasan muncul dari bali bulan, mendekat bergemerincingan. Aku jadi teringat ketika dulu aku suka duduk tercenung di jendela memikirkan Kakek, memandang keluasan malam yang bagai lautan hitam rahasia, sambil bertanya-tanya untuk apakah sebenarnya kita hidup bila selalu saja merasa sepi dan hampa? Kini aku memandangi langit, dan kian merasa sepi dan hampa, terpekur memandangi langit yang perlahan dipenuhi cahaya keemasan yang bergemerincingan. Di antara bunyi gemerincing itu, aku dengar kelepak lembut, seperti ada yang tengah menepuk-nepukkan telapak tangan begitu pelan yang timbul tenggelam dalam desau angina, gaib di telinga. Dari kamar yang gelap, kudengar juga dengkur istriku. Apakah ia merasa bahagia dengan mendengkur seperti itu? Kuteguk brandy, kuteguk lagi, membunuh sunyi sepi hatiku.
Di hamparan cahaya kekukingan yang memenuhi langit, kulihat Kakek berdiri di puncak gedung besama Jibril, seperti melambai memanggil-manggilku. Aku hanya mendengar bunyi kelepak sayap itu, yang membuatku – entah kenapa – begitu saja membayangkan kematian. Dari cahaya keemasan yang bergemerincingan yang muncul dari balik bulan, aku seperti mencium bau maut yang ngelangut.
Ah, alangkah sunyi malam ini. Dan kelepak sayap itu terus mendesir, terus mendesir…***
Hebat bget cerpenya saya tunggu updatenya ya
Hebat bget cerpenya saya tunggu updatenya ya minggu depan ya
Apakah AKU sekedar penderita Schizophren akut atau memang Kakek yang bersayap? Misteri!
mas agus, itu ilustrasinya karya mas agus sendiri atau gimana? ekspresif banget!
keren
cuma typonya itu bikin gemes 😀
It’s amazing designed for me to hаve а site, which іs valuable іn support of
my knoᴡ-һow. thanks admin