– WAWANCARA KUCING

Pengantar:

Monolog KUCING karya Putu Wijaya, akan dimainkan oleh Butet Kartaredjasa. Rencana akan dipentaskan pertama kali di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tanggal 30-31 Oktober 2010. Kemudian dipentaskan di Yogyakarta tanggal 3-4 November 2010 di Concer Hall Taman Budaya Yogyakarta. Pertunjukan akan selalu dimulai pukul 20.00 WIB. Selanjutnya, rencananya akan dikelilingkan (road show) di beberapa kota mulai awal tahun 2011.

Butet Kartaredjasa, aktor panggung yang tangguh. Ia dikenal sebagai aktor yang kerap mementaskan lakon-lakon monolog. Sebagai aktor ia sudah menarik perhatian khayalak teater di Yogyakarta saat memainkan lakon monolog Racun Tembakau (1989), yang diangkat dari cerpen Anton Cekov. Saat itu Taman Budaya Yogyakarta menggelar Panggung Empat Aktor Yogya, yang menampilkan empat aktor Yogyakarta (Untung Erha, Novi Budianto, Yebe Wijaya dan Butet Kartaredjasa), dimana masing-masing memainkan satu lakon monolog. Permainan Butet yang piawai, membuat monolog yang dimainkannya menjadi diskusi hangat. Setidaknya, permainannya menepis isu seputar krisis aktor teater yang memang cukup santer pada saat itu

Tapi boleh jadi sosoknya sebagai aktor monolog mendapatkan momentum yang pas saat memainkan lakon Lidah Pingsan dan Lidah (masih) Pingsan. Saat itu hari-hari genting Republik ini menjelang reformasi. Terutama setelah Orde Baru membreidel tiga media, Tempo, Detik, Editor. Saat peringatan 1 tahun Tempo dibreidel, Butet meresponnya dengan mengangkat tema soal nasib wartawan dalam lakon Lidah Pingsan (ditulis Indra Tranggono dan Agus Noor). Saat kemudian hiruk pikuk dan haru biru reformasi meletus, lakon itu “dilanjutkan” dengan Lidah (Masih) Pingsan, yang membuat Butet kemudian dikenal dan diidentifikasikan sebagai aktor yang pandai menirukan suara-suara tokoh politik. Lakon-lakon monolognya memang kemudian dekat sekali dengan isu politik dan sosial yang aktual. Seakan itu menjadi “pilihan tematis” lakon-lakonnya seperti juga tampak dalam monolog Mayat Terhormat, Matinya Toekang Kritik dan Sarimin.

Kini ia tengah menyiapkan monolog Kucing, yang kabarnya akan dikelilingkan di kota-kota kecil di banyak daerah. Disela mempersiapkan lakon monolog itu, wawancara ini berjalan.

Apa yang membuat Anda memilih lakon Kucing ini?

Soalnya judulnya netral. Kucing. Ntar kalau judulnya “Kerbau” disangka nyindir…ha ha ha. Itu jawaban guyon. Jawaban seriusnya, ya kenetralan itu sendiri. Lewat lakon ini saya ingin mengembalikan monolog sebagai permainan seni peran yang otonom. Ikhtiar pematangan diri seorang aktor dalam menafsir karakter dan memberi “nyawa” sebuah teks sastra. Pendeknya, monolog dikembalikan lagi sebagai sebuah proses keaktoran yang menjunjung tinggi kekuatan seni akting. Monolog dikembalikan ke “khitah”-nya…

Berarti  selama ini Anda telah menyelewengkan monolog…

Bukan secara sengaja. Tapi sepertinya memang terjadi salah kaprah. Semenjak 1997 ketika saya memainkan lakon Lidah Pingsan dan diteruskan Lidah (masih) Pingsan dan lakon-lakon lain yang temanya sangat politis – diantaranya saya pernah menirukan suara tokoh-tokoh politik – orang beranggapan seni monolog itu harus bertema politik. Seakan-akan harus ada tokoh politik yang ditirukan suaranya dan diolok-olok. Saya sering menerima pertanyaan konyol dari khalayak,”Mas, siapa lagi tokoh politik yang mau di”monolog”kan?” Lho, ini kan gawat…

Anda merasa bersalah?

Gemas aja. Kok begini ya jadinya. Saya merasa punya andil atas terjadinya salah kaprah itu. Karena itulah, saya terpanggil dan ge-er untuk bertanggungjawab meluruskan kembali kekeliruan pemahaman yang terjadi di masyarakat itu. Saya ingin bilang, bahwa monolog itu tidak harus politik. Tidak harus menirukan suara orang lain, apalagi suara tokoh politik. Nah cerpen “Kucing” karya Mas Putu yang tahun lalu (2009) dimuat di Koran Tempo, saya pikir akan sangat menarik jika dimainkan sebagai monolog, dan sekaligus menjawab kegelisahan saya itu.

Di mana menariknya?

Pertama, karena Kucing temanya tidak politis. Temanya sederhana. Tentang manusia dengan segala problem sehari-harinya yang juga sederhana. Persoalan yang muncul seperti membuka semua watak para tokoh dalam lakon ini. Dengan alurnya yang lincah dan khas, Putu Wijaya berhasil membangun alur yang menarik, sekaligus bisa membicarakan soal hakikat kemanusiaan dan seluruh persoalannnya. Sebuah kisah yang kelihatannnya remeh dan sederhana, tetapi langsung menghunjam ke hakekat dan maknanya. Di situ tersedia peluang bermain untuk mengembangkan seni peran, terutama tuntutan bermain dalam basis bermain ala realisme. Saya ditantang belajar kembali. Menyelami lagi dasar-dasar bermain seni akting sebagaimana dulu (2006) saya sangat menikmati ketika saya turut memainkan lakon realis Kunjungan Cinta bersama Teater Koma. Menurut saya, seekstrim apa pun usaha-usaha eksperimentasi dalam seni akting, pijakan utamanya ya tetap pada kekuataan realisme itu. Kembali kepada realisme adalah ikhtiar mengasah kekuatan itu.

Yang kedua, lakon ini ditulis Putu Wijaya. Bukan Agus Noor , yang selama ini karya-karyanya paling sering saya mainkan. Ini juga sebuah usaha untuk menemukan kesegaran baru bagi saya. Dan semoga saja juga ada suasana baru dalam monolog yang saya mainkan kali ini. Sekaligus saya ingin membuktikan kalau saya bisa bekerjasama dengan siapa saja, sejauh karyanya memang bermutu…he he he.

Tapi masih ada nama Agus Noor juga dalam proses ini..

Ya, saya, sewaktu saya membaca cerpen Kucing Putu Wijaya itu, saya memang kemudian diskusi dengan banyak temen, termasuk Djaduk dan Agus Noor. Intinya bagaimana mencari pola dan format pemanggungan yang simple bagi monolog saya kali ini. Lalu Agus Noor saya tawarkan untuk merekonstruksi ulang cerpen Putu itu, agar sesuai dengan “gagasan pemanggungan” yang kami diskusikan. Dalam beberapa hal, ia memperkaya atau menambahinya, memberi ruang bagi saya, agar sesuai dengan apa yang kami rancang dan diskusikan.

Apa sih gagasan pemanggungan yang Anda maksud itu? Setidaknya dibandingkan dengan monolog Anda sebelumnya, apa yang membedakan monolog Kucing ini?

Kemasan pertunjukannya berbeda. Dibanding lakon Matinya Toekang Kritik dan Sarimin yang panggungnya ribet dengan berbagai trik, bahkan memasukkan unsur multi media, kali ini diupayakan lebih sederhana. Lebih ringkas. Untuk sementara saya ingin menghindar dari pemanggungan saya, meskipun saya sendiri tidak bisa menjamin apakah jejak-jejak lama bisa hilang semuanya. Setidaknya, itulah yang ingin saya jadikan titik pijak penggarapan. Saya memosisikan diri sebagai aktor. Ada sutradara yang menggerakkan dan mengarahkan. Ada cahaya yang berfungsi membangun suasana dan menafsir adegan. Begitu pun musiknya. Tidak lagi berfungsi sebagai partner untuk berinteraksi seperti biasanya.  Dalam bayangan saya, lakon ini nantinya gampang digelar di mana saja dengan segala keterbatasannya.

Pada saat membicarakan soal konsep musik inilah, Djaduk Ferianto berkesempatan ikut menambahi. Bahwa pada proses Kucing ini, Djaduk lebih menekankan pada musik sebagai elemen pendukung suasana. “Mungkin mirip musik pada ilustrasi film, dimana pilihan warna suara dan elemen-elemen bunyi yang dipilihnya memperkuat peristiwa adegan dan mempertegas suasana, ruang, progresi karakter tokoh.” ujar Djaduk. Musik yang dikembangkan Djaduk kemudian lebih berupaya membangun suasana yang realis pula.

Inilah, yang menurut Djaduk, membuat konsep tata musik yang dikembangkannya berbeda dengan yang biasa ia lakukan. Misalkan, ruang celotehan atau interaksi antara dirinya sebagai pemusik dengan Butet sebagai pemain, menjadi dikurangi. Musik adalah bagian yang memberi ruang bermain aktor seluas-luasnya. ”Musik saya pun secara konseptual harus simple bila dibawa ke sana-kemari. Alat musiknya ndak boleh sebreg. Ini kesepakatan terkait konsep dan gagasan monolog Kucing ini,, yang harus simple, praktis dan fleksible. Menurut saya ini akan mempertegas kemampuan ke Aktoran Butet dalam bermain dan membangun cerita yang disampaikan,” Ujar Djaduk. Karena itu wilayah bunyi yang saya kembangkan banyak berasal atau memakai bunyi yang dihasilkan lewat digital.

Ada persiapan khusus untuk menyiapkan monolog ini?

Pertama-tama tentu saja persiapan fisik. Harus fit. Sekarang kan saya tambah tua, tahun depan udah umur setengah abad. Lagian jantungku udah cacat. Diam-diam sebenarnya pertunjukan ini juga test case, menguji kembali kekuatan fisik saya. Di banding main rame-rame dalam pertunjukan kelompok, misalnya dengan Teater Gandrik, memainkan monolog kan menuntut kekuatan dan intensitas yang berbeda.

Apa sih yang yang Anda lakukan setiap kali menyiapkan lakon monolog?

Yang musti disadari, meskipun di atas panggung aktor bermain sendirian, hakekatnya pertunjukan monolog itu sebuah kerja kelompok sebagaimana lazimnya pertunjukan teater. Artinya, proses penafsiran melibatkan semua elemen pendukung. Terlalu sombong kalau seorang aktor merasa dirinya superman, lalu memonopoli seluruh tahapan kerja yang takdirnya kerja kolektif. Kami bersama-sama mempersatukan pandangan dan ide-ide yang menyangkut kebutuhan artistik. Ini yang harus dijaga dan dikawal.

Proses selanjutnya: membaca naskah, menghafal sambil mencoba menghidupkan karakter, menggagas lay out panggung dan menentukan elemen-elemen visual pemanggungan. Mendiskusikan dengan sutradara atas temuan-temuan dalam proses sebelumnya yang bertalian dengan pengembangan karakter. Menyeleksi ulang apa yang telah ditemukan. Lalu penataan bloking, penggunaan dan permainan properti yang bakal digunakan, serta menjajal kemungkinan-kemungkinan ruang bermain. Semua dicari, diuji, diseleksi dan dijajal. Selalu bongkar pasang. Dalam setiap proses tidak ada temuan yang bersifat final, bahkan sampai menjelang pertunjukan pun semuanya bertumbuh dan berkembang.

Di sinilah sebenarnya keasyikan berteater itu. Sementara proses garap pemeranan berlangsung, yang bertugas menata musik dan pencahayaan mulai merancang dan menginventarisir kebutuhan-kebutuhan eksekusi yang kelak diimplementasikan di atas panggung. Barulah nantinya seluruh usaha dari setiap bagian dipertemukan, disusun, dijahit menjadi satu kesatuan yang utuh.

Berapa lama proses itu?

Dua atau tiga bulan. Mestinya bisa lebih ringkas kalau semua pendukung tidak punya kerjaan lain. Hidupnya hanya fokus untuk berteater saja. Tapi itu hil yang mustahal. Pekerja teater di Indonesia kan masing-masing punya kesibukan individual. Dan yang jauh lebih penting tapi terkadang diabaikan adalah urusan di luar perkara artistik. Yaitu tim kerja bagian produksi yang harus berpikir dan mengatur presentasi sebuah karya ke ruang publik. Ini tugas-tugas paling ribet karena menyangkut pendanaan, logistik, komunikasi publik, dan pelayanan kepada masyarakat seni yang kelak dijadikan sasaran untuk menikmati hasil seluruh pencapaian kreatif.  Ilmunya berbeda.  Ini seni yang lain. Seninya adalah seni menggali dana, seni memasarkan, seni promosi, seni negosiasi dan seni melayani. Menurut saya posisi antara perjuangan estetika dan perjuangan produksi adalah setara. Keduanya saling melengkapi dan saling tergantung. Karena itulah saya sering prihatin melihat arogansi seniman yang acapkali cenderung menyepelekan departemen produksi.

Kabarnya monolog ini Akan dikelilingkan ke kota-kota kecil, kota-kota “tingkat kabupaten” dan juga luar Jawa. Apa yang diinginkan dari pentas keliling itu?

Ya. Soalnya selama ini saya hanya main monolog di kota-kota besar di Jawa. Ada kecerewetan artistik yang memaksa kami harus begitu. Maka kali ini, “Kucing” sejak awal sengaja didesain sebagai pertunjukan yang lebih ringkas, bersifat sederhana, tuntutan artistiknya tidak aneh-aneh. Ibaratnya dengan kondisi gedung seperti apa pun, lakon ini siap dimainkan.  Makanya saya mengundang kawan-kawan pekerja teater dimana pun, terutama kelompok teater dari kampus-kampus perguruan tinggi, untuk mentuanrumahi pertunjukan monolog saya ini.

Selain berpentas kami ingin juga melakukan workshop seni – keaktoran, sastra dan musik  mengingat dalam tim kami juga ada Djaduk Ferianto, Whani Darmawan dan Agus Noor. Kami ingin berbagi pengalaman, setelah selama ini kami seperti mengabaikan mereka. Selama ini — saudara-saudara saya di luar Jawa juga di berbagai pelosok — kan hanya bertemu saya lewat pemberitaan pers, tayangan televisi atau vcd dan dvd dokumentasi pertunjukaan saya saja.

Tahun depan, setelah saya 32 tahun berteater, saatnya saya “bayar hutang” kepada mereka.  Saya tidak tahu, mungkin ini semacam moral obligation dari saya dan kawan-kawan sekomunitas.

Denger-denger sebelumnya Anda juga punya rencana serupa dengan Rendra?

Betul. Bulan April 2009, saat ketemu mas Willy (Rendra, red) di Mahkamah Konstitusi untuk membela nasib petani tembakau, kami menjadwalkan “go to campus” untuk workshop keaktoran. Mas Willy direncanakan membagi pengalaman keaktorannya, dan saya yang merancang perlawatan itu. Rencananya di bulan Oktober tahun itu. Sayangnya dia gugur duluan. Makanya kalau tahun depan gagasan “go to campus” ini terlaksana, anggaplah ini usaha menjelmakan amanah almarhum.

Apa yang Anda bayangkan dari road show itu?

Membagi pengalaman melalui workshop, saya pikir sangat inspiratif bagi kawan-kawan di kota-kota dan desa-desa yang kelak kami singgahi. Monolog harus diyakini sebagai media pengembangan diri sebagai aktor yang bersolo karier. Aktor tak harus lahir dari sebuah kelompok. Ibaratnya, kalau penyanyi bisa lahir secara individual, kenapa harus bikin grup band? Namun, keaktoran bukan sekadar orang terampil berakting. Kita tidak boleh capek untuk meyakinkan semua orang, bahwa keaktoran itu bukan semata-mata berlatih seni peran. Bukan sekadar siasat untuk lekas-lekas menjadi bintang sinetron yang ujung-ujungnya menjelmakan utopia sebagai orang beken.  Melainkan keaktoran itu adalah ilmu yang menghasilkan kekuatan untuk membaca, mengukur dan mengidentifikasi kekuatan diri sendiri sehingga seseorang bisa mengatur masa depannya sendiri. Dari belajar keaktoran kita mengenal pentingnya toleransi, solidaritas, kepekaan sosial, kemampuan mengartikulasikan pikiran dan lain-lain.

Setelah monolog Kucing ini, lakon apa lagi yang ingin Anda siapkan? Kira-kira tahun berapa?

Sejak tiga tahun lalu saya masih setia menunggu Agus Noor ketiban wahyu, dan merampungkan lakon monolog Musuh No. 1. Entah kapan si wahyu itu datang,…hua ha ha

Hahaha… Jangan-jangan karena si wahyu itu sudah berganti nama menjadi si Ong Hari Wahyu..

Hahaha…

Iklan

13 Tanggapan to “– WAWANCARA KUCING”


  1. 1 Sang Penjelajah Malam Oktober 5, 2010 pukul 3:21 pm

    Salam kenal

  2. 2 hendro plered Oktober 5, 2010 pukul 3:59 pm

    selamat dan sukses Bung !

  3. 3 Agus Noor Oktober 6, 2010 pukul 1:29 am

    Penjelajah Malam: salam kenal juga..
    Mas Hendro yang ngepleerrrreedd terus: gimana, Bung kok Anda tak berniat membantu proses ini. Sungguh kami kehilangan keakraban Anda. Bulan Januari kami akan keliling 15 kota, sangat bahagia kalau Anda bisa meluangkan waktu, ide dan gagasan untuk membantu proses kami…

  4. 4 awie Oktober 6, 2010 pukul 8:59 am

    Giliran Surabaya kapan ya?

  5. 5 Agus Noor Oktober 11, 2010 pukul 8:06 am

    Awie: untuk pentas di Surabaya, rencananya bulan Januari 2011. Kami masih mengatur jadwal dan waktunya…

  6. 6 nala arung Oktober 12, 2010 pukul 10:51 am

    selamat sukses dan sehat selalu Mas Agus dan Mas Butet.
    salam hangat.

  7. 7 agus linduaji Oktober 12, 2010 pukul 11:13 am

    dari mulai lidah pingsan sampai sarimin alhamdulillah aku punya kesempatan nonton semoga kali ini tak terlewatkan salam

  8. 8 soClose29 Desember 8, 2010 pukul 5:06 am

    dan saya tertinggal di jadwal kota Malang. malang benar nasibku.

  9. 9 Ashmansyah Timutiah Februari 10, 2011 pukul 6:10 am

    Salam dari Tasikmalaya, dengan senang hati kami akan menyambut pertunjukan monolognya!

  10. 10 tejo April 15, 2011 pukul 4:08 am

    slm…
    kapan jadwal ke aceh…? kwn2 di aceh sudah melakukan persiapan untuk pentas monolog kucing tersebut…

    kami masih teta[ menunggu

  11. 11 hafiz talking doll Februari 25, 2016 pukul 2:09 am

    Great beat ! I would like to apprentice whilst you amend your website,
    how could i subscribe for a weblog website? The account aided
    me a acceptable deal. I had been tiny bit
    familiar of this your broadcast provided shiny clear concept


  1. 1 – MONOLOG KUCING MULAI KELILING « Agus Noor_files Lacak balik pada Januari 31, 2011 pukul 7:13 am
  2. 2 ổ cắm công nghiệp Lacak balik pada Juni 4, 2016 pukul 9:52 pm

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s




Point your camera phone at the QR code below : qrcode enter this URL on your mobile : http://buzzcity.mobi/agusnoorfiles
Oktober 2010
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031

Archives Files

Catagories of Files


%d blogger menyukai ini: