Teater Gandrik akan mementaskan lakon Keluarga Tot di Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 17-20 April 2009. Lakon ini kemudian akan dipentaskan pula di Yogyakarta pada tanggal 29-30 April 2009 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Konon, kota-kota lain mungkin disambanginya juga, bila memungkinkan.
…… lakon ini disebut sebagai alegori politik yang cerdas. Lakon ini bisa menjadi satir sosial, tentang masyarakat yang nyaris tanpa pilihan, dan terpaksa menerima keadaan. Lebih-lebih, “kelucuan-kelucuan” dalam lakon Keluarga Tot ini memberi peluang bagi Gandrik untuk mengeksplorasi kekayaan guyon parikeno-nya, gaya sampakannya.
Istilah Sampakan
Teater Gandrik dikenal sebagai kelompok teater yang mengolah bentuk ‘teater sampakan’. Istilah sampakan ini, sesungguhnya muncul karena “kecelakaan”. Sekitar tahun 1985, diselenggarakan Festival Teater di Yogyakarta. Festival ini diikuti banyak grup dengan kecenderungan estetis yang beragam. Pertama, ada yang memilih bentuk teater realis (yang saat itu banyak diolah oleh Teater Muslim). Kedua, ada yang berorientasi pada bentuk pementasan klasik Yunani (hingga lebih memilih memanggungkan lakon-lakon seperti Oedipus karya Sophocles – yang representasinya, di Yogya pada saat itu, adalah Teater Arena). Dan ketiga, muncul kecenderungan yang berorientasi pada pengolahan tradisi, yang cirinya antara lain pada pemakaian istrumen gamelan sebagai pengiring (yang banyak dilakukan Teater Dinasti dan juga Teater Gandrik). Perlu diingat: pada tahun itu, Teater Gandrik memang sedang tenar-tenarnya di Yogyakarta, hingga banyak kelompok teater yang kemudian ‘meniru’ gaya pementasannya, bahkan saat itu boleh dibilang banyak peserta festival itu yang mengusung gamelan sebagai bagian dari pertunjukan mereka. Melihat kecenderungan ‘pilihan estetis pertunjukan’ yang seperti itu, para juri festival merasa perlu untuk melakukan klasifikasi. Istilah teater realis dan teater klasik bisa dengan gampang disematkan pada kelompok teater peserta yang memang memilih orientasi yang pertama dan kedua. Nah, lalu mesti dinamain apa ‘jenis’ teater yang memiliki kecenderungan pada yang ketiga itu?
Saat itulah, Kirjomulyo, selaku salah satu juri mengatakan: ya sebut saja ‘teater sampakan’, karena mereka menggunakan instrumen gamelan sebagai ciri ketika pemainnya keluar masuk adegan. Istilah ‘sampakan’ mengacu pada gending ‘sampak’, yakni komposisi gamelan yang riang yang memang banyak dipakai pada ketoprak. Nah, karena pengolahan instrumen gamelan itulah, demi gampangnya, Kirjomulyo menamainya ‘teater sampakan’. Itulah sebabnya, saya menyebut, istilah ‘teater sampakan’ itu lebih sebagai sebuah kecelakaan. Karena tentu saja, bila pola permainan dan pengolahan bentuk yang dilakukan Teater Gandrik hanya dilihat dari cirinya yang menggunakan gamelan sebagai pengiring adegan, maka istilah sampakan tidaklah memadai untuk menandai “estetika Gandrik”.
Faruk HT, mencoba melihat konteks sosial politik yang lebih luas untuk memahami pola (estetis) Teater Gandrik. Ia memperbandingan kecenderungan yang dibawa Gandrik dengan kecenderungan umum teater (modern) Indonesia (saat itu). Gandrik disebut sebagai sebuah ‘varian rakyat kecil’ dalam mengolah dan menyampaikan kritik, atas hegemoni politik (Orde Baru), yang membuatnya berbeda dengan ‘varian elitis’ yang, oleh Faruk, banyak dilakukan oleh kelompok teater semacam Teater Mandiri, Teater Saja dan lainnya. Gandrik, tidak lagi sibuk pada pretensi untuk membangun simbol-simbol teater yang bergaya absurd, misalnya, atau mengolah tema-tema besar semacam penindasan atau alienasi sosial yang menjangkiti masyarakat. Pada awal kemunculannya, Gandrik lebih mengolah kisah-kisah keseharian, yang cenderung remeh-temeh, yang seakan-akan setiap orang gampang melakukan (dan karenanya, pada saat itu, Teater Gandrik pernah disebut oleh Puntung CM. Pujadi, tokoh teater Yogya, sebagai teater ‘mie instan’).
Latar Sosial Munculnya Gandrik
Saya perlu sedikit memberi ilustrasi sosial yang menjadi latar pikiran Faruk dan juga komentar Puntung itu. Di tahun-tahun 80an, boleh dibilang, teater (modern) Indonesia memang suatu yang ‘sakral’, suatu yang begitu serius, yang prosesnya harus dilakukan dengan suntuk, total, dan kalau perlu ‘mati hidup demi teater’. “Keseriusan” itu, tidak hanya nampak dari bentuk-bentuk pentas yang dihasilkannya, tetapi juga pola prilaku dalam kehidupan para teaterawannya.
Tidak heran, bila di Yogyakarta saat itu, kelompok-kelompok teater menjadi semacam gerakan sosial dan estetis yang harus diperjuangkan dengan ‘kenceng’. Setiap kelompok begitu yakin dengan pilihan estetiknya. Begitu serius dengan metoda latihan dan prosesnya. Kelompo teater adalah ‘korps’ yang setiap anggotanya harus bangga dan yakin dengan apa yang diperjuangkan melalui pentas-pentasnya. Ibaratnya, bila kamu menjadi anggota satu kelompok teater tertentu, misalnya teater A, maka haram bagi kamu untuk mendukung atau ikut pentas dengan teater B. teater dan kelompok teater adalah hal yang serius dan ‘sakral’. Maka, kalau menghasilkan teater yang ‘cekeremete’, atau kacangan dan cenderung tampak main-main, itu adalah aib. Padahal, itulah yang dilakukan oleh ‘anak-anak’ Teater Gandrik.
Jadi boleh dibilang, saat itu, Teater Gandrik melakukan ‘dua dosa besar’. Pertama, membuat pementasan teater menjadi tampak tidak serius, main-main, penuh guyonan dan, kedua, menghayati proses berteater menjadi proses yang lebih rileks dan tidak ‘mbentoyong’. Kelahiran Gandrik, boleh jadi bisa menjelaskan hal itu.
Terbentuknya Gandrik
Saat mulai terbentuk, nama Gandrik belum muncul. Saat itu, beberapa personil ‘hanya berkumpul’ karena diajak untuk mengikuti Festival Pertunjukan Rakyat. Mereka lalu latihan, dan kemudian menang. Pak Kasiharto SH, yang saat itu menjabat Kepala Wilayah Kecamatan Mantrijeron, begitu kaget dengan kemenangan kelompok yang mewakili wilayahnya itu. Maka, sebagaimana umumnya orang Jawa kalau kaget oleh ledakan petir, Pak Kasiharto pun berteriak, “Gandrik!!”. Itu diucapkan untuk mengekpresikan kekagetan (karena berhasil menang) sekaligus kegembiraan. Nah, sejak itulah, nama Gandrik ‘resmi’ dipakai oleh mereka.
Para personil awal Gandrik, saat itu, mau mengikuti Festival Pertunjukan Rakyat, karena mereka ingin melakukan ‘proses berteater yang lebih nyantai”. Perlu dicatat, para personil awal itu, datang dari kelompok teater yang berbeda (ini jelas dianggap sebagai pengkhiatan kelompok, pada saat itu, dan resikonya bisa dikucilkan dari kelompok teater yang diikutinya). Susilo Nugroho, misalnya, semula adalah anggota kelompok Teater Kita-kita. Sepnu Heryanto anggota Teater Gembala, Heru Kesawa Murti sebelumnya aktif di Teater Kerabat, Novi Budianto, Jujuk Prabowo dan Saptaria Handayaningsih sudah dikenal lebih dulu sebagai aktor aktris kelas wahid di Teater Dinasti. Bahkan Fajar Suharno adalah anggota senior di Bengkel Teater (Rendra). Mereka, saat itu, menganggap bisa sedikit bisa lebih rileks berteater ketika mengikuti Festival Pertunjukan Rakyat itu. Karna itu, pada prosesnya pun mereka melakukannya lebih rileks dan dan bisa “bermain-main dengan bebas’, tanpa harus ‘dihardik’ sutradara yang menjadi penentu segalanya. Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto, belum terlibat di proses-proses awal ini.
Keduanya, Butet dan Djaduk, baru mulai terlibat aktif ketika Gandrik mulai menggarap lakon-lakon untuk TVRI, kira-kira sekitar tahun 1984, ketika Teater Gandrik mementaskan lakon semacam Pasar Seret, Pensiunan, Sinden, dan lainnya. Gandrik adalah kesempatan bagi mereka untuk bisa berproses dengan lebih santai, cekakakan atau ketawa-ketiwi, dimana setiap personil boleh dibilang bebas melakukan apa saja yang dia inginkan, misalkan menyanyikan atau menembangkan dialog yang semestinya tidak dinyanyikan, mengolah gerakan-gerakan yang spontan, improvisasi di luar teks naskah. Bila pada umunya improvisasi pada panggung teater dilakukan bila hanya ada kecelakaan (misalkan lupa dialog), maka pada proses Gandrik, para personilnya tampak begitu bebas menambah-nambahi (bahkan memberi komentar), mengacak-acak, naskah yang sudah ada. Mereka benar-benar melakukan ‘rekreasi’ dalam proses berteater. Namun, hal ini tentu saja juga tumbuh karena latar belakang kesenian tradisi semacam ketoprak, yang memang menjadi bagian ‘nafas kehidupan mereka sehari-hari’. Pada ketoprak, kita tahu, improvisasi adalah kemampuan yang justru wajib dimiliki para pemainnya. Kekentalan pergaulan mereka dengan seniman tradisi, membuat sikap rileks mereka seperti menemukan rasionalisasi estetis, atau sebuah justifikasi, pembenaran, bahwa yang mereka lakukan sesungguhnya memiliki akar yang panjang dalam diri mereka sebagai ‘manusia Jawa’.
Realisme Gandrik
Penggarapan lakon yang kemudian dipentaskan di televisi, membuat popularitas Teater Gandrik meroket. Barangkali karena korelasi dengan media itulah, yang membuat lakon-lakon awal yang diamainkan Teater Gandrik lebih mengangkat hal-hal aktual keseharian. Serial Pasar Seret adalah contoh untuk itu. Lakon ini berkisah tentang kehidupan sehari-hari di sebuah pasar, dimana para pedagang pembeli, mantri pasar, tukang kredit bahkan pengemis berinteraksi. Di sini, peran Heru Kesawa Murti sebagai penulis naskah, tidak bisa diabaikan. Bahkan, menurut saya, kecenderungan Heru dalam membentuk karakter-karakter tokoh dalam lakon-lakon yang ditulisnya itulah, yang kemudian menjadi titik pijak permainan para aktor Gandrik.
Heru selalu berhasil menampilkan karakter-karakter manusia yang util, yang sok bersih tetapi sesungguhnya penuh kemunafikan, karakter yang hipokrit tetapi penuh borok, juga karakter-karakter yang gemar mengejek orang lain dan bahkan dirinya sendiri, dan karena itu tokoh-tokohnya cenderung nyinyir, sinis, tetapi tak pernah (berpretensi) menjadi ‘hero’. Kecenderungan karakterisasi semacam ini, tentu saja bisa dilacak pada pola ‘guyon parikeno’. Inilah guyonan yang lebih dekat pada sindiran-sindiran secara halus. Maka karakter-karaker yang diciptakan Heru adalah ‘karakter pasemon’, sebuah karakter yang merupakan sindiran halus, gambaran yang nylekit, tentang situasi sosial yang berlangsung. Karakter-karakter itu berhasil menampilkan gambaran micro, potret kecil, yang sesungguhnya merupakan sindiran jagat macro. Barangkali, inilah yang oleh Faruk kemudian disebut sebagai ‘varian rakyat kecil’ ketika melakukan kritik. Secara permaian, karakter-karakter yang diciptakan Heru memungkinkan para aktor Gandrik untuk keluar masuk peran (yang mengingatkan pada gaya teater epik Bertolt Brecht) yang dilakukan dengan semangat main-main untuk mengejek diri sendiri. Pada perkembangnyanya, itulah yang kemudian disebut oleh personil Gandrik sebagai tekhnik “ngembosi’ dan ‘ngenyek”, atau memain-mainkan bangunan karakter dan dramatik.
Lakon-lakon awal yang cenderung bersifat realis semacam Pasar Seret inilah, sesungguhnya, yang membuat Gandrik disalahfamahi sebagai teater yang mirip ‘mie instan’ itu. Padahal, menurut saya, itulah sumbangan penting dari Teater Gandrik terhadap bentuk-bentuk pertunjukan teater (saat itu). Ia mengolah sesuatu yang ‘realis’ menjadi sangat “nggandrik”, atau “Gandrik banget”. Sesuatu yang khas Gandrik. Itulah sebabnya, Teater Gandrik kemudian lebih menonjol dibanding dengan teater-teater lainnya di Yogya (yang saat itu) sebenarnya juga banyak yang mengolah pola permainan sampakan, pola permainan dengan gendingan itu. Pada Teater Jeprik, misalnya, pola sampakan itu tetap menghasilkan permaian yang serius dan terukur dramatiknya dengan kecenderungan kritik sosial yang juga keras dan langsung.
Saya ingin menyebut apa yang dihasilkan Teater Gandrik itu sebagai “realisme (ala) Gandrik”, atau biar tidak repot: ‘realisme Gandrik’. Itu untuk menandai periode awal Teater Gandrik, sebelum akhirnya Teater Gandrik juga ‘tergoda untuk mementaskan lakon-lakon yang simbolik semacam Dhemit dan mengangkat tema yang cenderung ‘besar’ semacam dalam Orde Tabung – ini adalah tema ‘penguasaan manusia atas manusia’ sebagaimana dalam lakon Animal Farm dan 1984 karya George Orwell. Realisme Gandrik, ialah realisme yang tampak sekali berangkat dari gagasan bahwa teater mesti menampilkan kisah-kisah yang lebih realistis, kisah-kisah yang mengangkat karakter yang lebih mencerminkan karakter keseharian manusia ketika ia berinteraksi dengan persoalannya. Itulah sebabnya, saya sebut, peran Heru sebagai ‘peletak dasar estetika Gandrik’ tak bisa dikesampingkan.
Dalam proses penggarapan itulah, kemudian, pola pemanggungan dan permainan yang dikembangkan membuatnya berbeda dengan realisme ala teater Barat. Secara bentuk set pemanggungan, realisme Gandrik tidak berpretensi untuk menghadirkan ‘gambaran yang sesuai dengan kenyataannya’. Sementara secara permainan, ralisme Gandrik tidak hendak ‘berperan menjadi’, sebagai tuntutan psikologisme atau karakterisasi tokoh, tetapi lebih pada bermain ‘berperan sebagai’ – begitu Veven Sp. Wardana pernah menuliskannya. Karenanya, itulah, sekali lagi, yang membedakan secara bentuk dengan teater realis yang datang dari Barat, seperti nampak pada lakon-lakon Cekov atau Ibsen. Itulah yang membuat pola permaian Gandrik kemudian justru lebih dekat pada gagasan teater Brecht. Butet Kartaredjasa bilang, bahwa Goenawan Muhamad pernah menyebut istilah “Brecht Jawa” untuk estetika yang dikembangkan Teater Gandrik. Sebuah penyebutan yang menarik untuk dielaborasi.
Keluarga Tot dan István Örkény
Dalam konteks ‘realisme Gandrik’ itulah, lakon Keluarga Tot (The Toth Family), ini menjadi menarik. Lakon Keluarga Tot ialah lakon realis. Lakon ini datang dari Hungaria, yang judul aslinya Tóték. Ditulis oleh István Örkény, pengarang yang boleh dibilang sangat penting di Hungaria. Ini adalah lakon satir yang komikal tentang sebuah masyarakat yang dipaksa menerima sebuah kebenaran atau kenyataan hidup, meski ia tak menyukainya. Oleh banyak kritikus, lakon ini disebut sebagai alegori politik yang cerdas. Lakon ini merupakan “lakon wajib”, yang nyaris dipentaskan setiap tahun di Hungaria, dengan berbagai variasi pementasannya. Di pentaskan di gedung-gedung teater standar hingga taman dan jalanan. Bahkan, naskah ini sudah banyak dipentaskan di panggung-panggung teater penting di Eropa dan Amerika. Dari Perancis, Belanda, Jerman, Rusia hingga New York. Lakon ini juga telah melanglang hingga ke dataran Asia, seperti Mongolia dan Jepang.
Oke, kita kenalan sebentar dengan penulis ini. István Örkény (lahir dan meninggal di Budapest, 1912-1979). Keluarga Tot boleh dibilang merupakan salah satu karya agung (masterpeace) yang pernah dihasilkannya. Ia dikenal sebagai penulis yang bergaya satir dalam melihat situasi masyarakat. Beberapa karyanya, antara lain novel dan lakon, seperti, Ocean Dance (1941), One Minute Stories, yang merupakan buku kumpulan cerita paling populer yang dihasilkannya dengan gaya absurd dan grotesque yang khas dirinya. Ia sempat tinggal di Moskow, di lingkungan buruh, dan menuliskan lakon Voronesh, sebelum kemudian ia kembali menetap di Hungaria tahun 1946. Ia kemudian menjadi penulis lakon terpenting Hungaria, ini didibuktikan ketika pada tahun 2004 namanya diabadikan menjadi nama gedung teater di Budapest: Örkeny Theater.
Lapis-lapis (Kemungkinan) Estetis
Saat Teater Gandrik memutuskan untuk mementaskan lakon ini, saya langsung teringat pada ‘realisme Gandrik’ itu. Inilah, menurut saya, yang membuat ada dua simpul penting bagi Teater Gandrik sendiri dan lakon ini. Pertama, saya yakin, penonton Gandrik hari ini, jarang yang menonton lakon-lakon realis Gandrik pada masa awal perkembangannya. Makanya, pilihan pada naskah realis menjadi pilihan yang menantang bagi penonton Teater Gandrik yang belum menonton ‘bagaimana Teater Gandrik memainkan naskah realis’. Kedua, ini kesempatan bagi Gandrik untuk mengembangkan “realism Gandrik” itu. Bagaimana pun, Keluarga Tot ialah lakon dengan struktur dramatik yang khas drama-drama realis Eropa. Bagaimanakah mementaskan lakon realis seperti itu tanpa kehilangan “kegandrikannya”?
Tentu secara permainan ini akan menantang bagi aktor-aktor Gandrik. Gaya sampakan yang sudah dikenal sebagai brand Teater Gandrik, akan menemukan bentuknya yang lebih segar ketika ia disinergikan dengan “realisme Eropa”. Ingat, selama ini jarang sekali Teater Gandrik memanggungkan lakon “luar”. Tercatat hanya sekali Gandrik memainkan lakon Mas Tom, karya penulis Inggris Henry Fielding. Tapi lakon Mas Tom adalah lakon yang sudah diadaptasi. Setting cerita dan tokoh-tokohnya sudah disesuaikan dengan latar lokal (Jawa). Berbeda dengan Keluarga Tot ini, yang tetap dipertahankan setting dan tokoh-tokohnya. Tetap dipertahankan “ke-Hungaria-annya”, sehingga ia memberikan kemungkinan “lapis-lapis pertunjukan” yang cukup menantang. Dan saya rasa, “lapis-lapis pertunjukan” itulah yang menarik dari proses penggarapan Keluarga Tot ini bagi Teater Gandrik:
Pertama ialah ‘lapis realisme’. Seperti saya sebut terdahulu, ini kesempatan bagi Gandrik untuk mengambangkan mazhab ‘realisme Gandrik” yang pernah dikembangkannya semasa awal. Ini bisa menjadi ulang-lalik yang menyenangkan: antara realisme Eropa dan realisme ala Gandrik.
Lapis kedua, ialah ‘lapis budaya’. Dengan mempertahankan “dunia dan budaya Hungaria” lakon ini, maka tersedia cukup ruang untuk melakukan kelincahan bermain-main, berulang-alik antara ‘dunia Hungaria” dengan “dunia Gandrik”, yakni dunia dimana para personil Gandrik tumbuh dan hidup. Semacam dialog budaya yang menarik, yang pastilah akan muncul dalam permaianan mereka.
Lapis ketiga adalah ‘lapis dramatik”. Dramaturgi realis lakon Keluarga Tot, tentu akan memberi peluang bagi Gandrik untuk juga bermain-main, dengan membangun dan menghancurkannya, bila kita merujuk pada pola dramatika yang biasa dikembangkan Teater Gandrik.
Keempat, ‘lapis permainang atau akting’. Bagaimanakah psikologisme tokoh-tokoh itu kemudian dimainkan? Ini jelas tantangan dan juga kesempatan para aktor untuk mengaplikasikan kecenderungannya dalam ‘bermain sebagai’ dalam psikologi tokoh yang dimainkannya. Dengan kata lain, karakter-karakter yang kuat secara psikologis (sebagaimana umumnya lakon realis) menjadi kesempatan bagi aktor Gandrik untuk mengolah menampilkan seni aktingnya, sekaligus ‘mempermainkannya’.
Lapis-lapis itulah, yang saya kira, menjadi persoalan yang menarik untuk dilihat dalam pementasan Keluarga Tot ini. Apalagi, lakon ini memang lakon yang komedis. “kelucuan-kelucuan’ dalam lakon Keluarga Tot ini memberi peluang bagi Gandrik untuk mengeksploarasi kekayaan guyon parikeno-nya.
Semacam Sinopsis ‘Keluarga Tot’
Kisah Keluarga Tot ini berlatar belakang suasana perang yang muram, dengan setting historis Perang Dunia II. Dalam suasana seperti itu, keluarga Lajos Tot kedatangan seorang Mayor, yang ingin menginap di rumahnya. Sang Mayor memerlukan tempat yang nyaman untuk beristirahat. Mau tak mau, Lajos menerima mayor itu, karena Sang Mayor adalah atasan anaknya, yang jadi prajurit dan sedang bertempur. Mariska Tot, sang ibu, berharap agar Mayor itu terkesan dan betah selama masa beristirahat, hingga bisa mempermulus karier anaknya di kemiliteran.
Para tetangga pun diberitahu, dan diminta untuk ikut menerima kedatangan Sang Mayor. Karena Sang mayor memang menginginkan ketenangan: tak boleh ada suara, tak boleh ada keributan sekecil apapun, tak boleh tercium bau-bauan yang tidak menyenangkannya, tak boleh ada warna yang akan membuat sang Mayor gelisah dan marah. Pendeknya, semua orang, harus menyesuaikan kebiasaan sang Mayor. Mereka harus merubah “rutinitas hidup mereka”, dan menyesuaikannya dengan kebiasaan Sang Mayor. Kebiasaan jam tidur harus menyesuaikan jam tidur Mayor. Cara mereka menguap, menggeliat, cara mereka makan. Semua harus menyenangkan dan menyesuaikan dengan kebiasaan Mayor. Lajos Tot dan keluarga menjadi asing di rumahnya sendiri, tetapi mereka harus menerima keasingan itu sebagai kenyataan yang harus mereka terima.
Nasib Keluarga Tot boleh jadi adalah nasib kita hari ini: yang dipaksa menerima keadaan yang sesungguhnya tidak kita sukai. Poster caleg yang menyebalkan yang setiap hari mesti kita lihat. Para pemimpin yang sibuk minta kita perhatikan sementara tak seupil pun mereka pernah memerhatikan kita. Kita terpaksa mendengarkan apa yang tidak ingin kita dengarkan. Kita menerima keadaan yang rasanya kita tak kuasa menolaknya. Begitulah, lakon ini bisa menjadi satir sosial, tentang masyarakat yang nyaris tanpa pilihan, dan terpaksa menerima keadaan.
aku usahakan nonton yg di jakarta…biasane nonton di hari pertama?tiket kapan bisa dipesen ?
Tiket bisanya sudah mulai bia di pesan seminggu seblm pertunjukan. Langsung pesan ke TIM, bisa via telp.
nelp ke TIM nya ato siapa nih ?
minta no telp nya donk bwt mesen…
Untuk pesen tiket di Jakarta, bisa telp ke nomor ini: 021 391 50 12 atau 021 314 9425
untuk pertunjukan di Jakarta, bisa pesen tiketnya di no telp ini: 021 391 50 12 dan, 021 314 9425
Untuk pertunjukan jakarta, bisa pesen ke no telp ini:
– 021 391 50 12 atau
– 021 314 9425
Untuk pertunjukan yogyakarta, pesen tiketnya kemana ni mas…?
terima kasih.
Ini informasi harga tiket dan pemesanannya (Jakarta dan Yogyakarta):
Harga tiket Jakarta
VVIP: Rp.150.000,-
VIP: Rp.100.000,-
Festival: Rp. 50.000,-
Reservasi tiket Jakarta
Tiketbox: Taman Ismail Marzuki, Jakarta
Jln. Cikini Raya No. 71, Jakarta Pusat
Telepon: (021) 315 4087; (021) 31937325
Jln. Garut No. 10, Menteng, Jakarta Pusat
Telepon: (021) 314 94 25 ; (021) 391 50 12
Harga tiket Yogyakarta
VVIP: Rp.100.000,-
VIP: Rp.50.000,-
Lesehan: Rp.50.000,-
Festival: Rp.30.000,-
Reservasi tiket Yogyakarta
Tiketbox: Taman Budaya Yogyakarta, Jln. Sriwedari no.1
Telepon: (0274) 561914
Sonora FM, Jln. Wakhid Hasyim No.256
Telepon: (0274) 450365; (0274) 450364
Yayasan Bagong Kusudiharjo, Desa Kembaran, Tamantirto, Bantul
Telepon: (0274) 376394; 081328171688
Kontak: Diar dan Ninin
Customer service Centro, Ambarukmo Plaza Lt. I
Jl. Laksda Adi Sucipto, Yogyakarta
Telepon: (0274) 4331100
Harian Kedaulatan Rakyat, Jl. P. Mangkubumi No. 40-44, Yogyakarta
Telepon: (0274) 565685
pementasannya jam berapa ya?
20.00 WIB
Udah neh nonton, sory, telat kasi coment. Baca ini aja dah….
http://teaterputih.blogspot.com/2009/05/antara-tamu-yang-terhormat-dengan.html