– PROSES KREATIF PENULISAN ‘KARTU POS DARI SURGA’

Ini semacam catatan seputar proses penulisan cerpen ‘Kartu Pos dari Surga’. Saya menulisnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang pada saya seputar cerpen yang muncul di Kompas (21 September 2008), dan kemudian masuk terpilih sebagai 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009 versi Pena Kencana.

Saya menulis cerpen itu tak lebih dari dua jam. Tapi prosesnya lebih dari satu setengah tahun. Baiklah, saya akan mengisahkannya.

kartu-pos-21

Ketika mendengar berita jatuhnya pesawat Adam Air di perairan Majene, 1 Januri 2007, langsung meletik ide: saya ingin menulis cerita yang berangkat dari peristiwa ini. Jadi, boleh dibilang, inilah proses awal kemunculan cerpen itu. Bermacam ide cerita bermunculan, kira-kira tentang tragedi para penumpang yang kena kecelakaan pesawat. Tapi saya tak segera menuliskannya, karena saya merasa ada yang mesti dipertimbangkan, yakni, pertama, saya tidak ingin sekadar menceritakan ulang kisah pesawat yang jatuh itu. Saya ingin ada jarak terlebih dulu dari peristiwa itu, agar bisa menemukan kisah yang tidak serta merta penceritaan ulang sebuah kejadian yang dengan gampang dikenali sumber peristiwanya. Sebuah fiksi, tidak boleh tergantung dari peristiwa yang berada di luar fiksi itu sendiri.

Kedua, saya yakin, peristiwa jatuhnya Adam Air itu juga memicu imajinasi para penulis lain. Artinya, akan banyak cerita dengan “latar jatuhnya pesawat’, atau “tentang pesawat yang jatuh” yang ditulis oleh para penulis selain saya, dan karenanya, bila saya tidak bisa menemukan sebuah kisah yang ‘unik dan menarik’, maka cerita yang saya tulis bisa menjadi biasa, umum dan mungkin tak beda jauh dengan kisah-kisah (yang akan ditulis penulis lain) itu.

Dua alasan itu, membuat saya menahan diri, dan ide pun mengendap. Selama pengendapan inilah, saya mencoba menyusun semacam point of view penceritaan, dengan mempertimbangkan, kira-kira sisi apa yang menarik dan menyentuh dari kisah jatuhnya pesawat itu. Sudah pasti, kisah menyentuh itu pastilah kisah tentang para korbannya. Tetapi bagaimana mengolahnya? Kisah seorang yang punya firasat akan kematiannya, lalu jatuh bersama pesawat itu, tentu banyak dipikirkan juga oleh pengarang lain. Atau mungkin kisah romantis pertemuan terakhir sepasang kekasih, atau suami istri, yang saling menyinta tetapi kemudian salah satunya mati dalam kecelakaan pesawat itu, saya rasa juga tak terlalu istimewa. Atau mungkin kisah seseorang yang menunggu, yang berdebar penuh cinta, tapi kemudian terkejut di akhir kisah lantaran mendengar orang yang ditunggunya mati dalam pesawat yang jatuh itu – ide ini pun segera saya tepis.

Saya menemukan titik pijak lagi buat cerpen itu, ketika para penumpang Adam Air diberitakan tak ada yang ditemukan. Para penumpang itu bagai lenyap tertelan laut, bersama bangkai pesawat yang juga tak tertemukan. Kejadian ini makin mengempalkan ide tentang para korban itu: yakni tentang seseorang yang mati tenggelam di laut dan mayatnya tak ditemukan. Seperti tak ada jejak kematian yang bisa membuktikannya.

Bagi saya, ini penting, karena inilah yang membuat saya menemukan awal dari mana saya akan mengolah kisah. Tiadanya mayat yang ditemukan itu juga menjadi sesuatu yang penting, bila kita mengingat tradisi ziarah kubur. Bagaimana mungkin kita bisa melakukan ziarah kubur, kalau yang mati tak ada kuburnya? Maka saya pun makin tahu: ini mesti kisah seorang yang bingung atau berduka karena tak tahu bagaimana menjelaskan sebuah kematian…

Siapa yang menjelaskan, dan pada siapa?

Di sinilah pertanyaan soal tokoh mulai muncul. Kalau dalam teori penulisan, inilah saatnya mulai ditanyakan: Siapa dia? Kenapa dia? Saya mesti menemukan logika cerita: kira-kira, siapa yang menjelaskan peristiwa itu, dan pada siapa? Ia harus merasa kesulitan menjelaskan kematian itu, karena memang tak ada bukti, tak ada mayat, tak ada pemakaman. Dan siapa yang tidak gampang dijelaskan dengan semua kejadian itu?

Maka tokoh anak kecil mulai muncul. Nama tokoh belum terpikir, itu nanti, gampang – begitu kebiasaan saya yang selalu menentuan nama tokoh belakangan. Menjelaskan kematian pada anak kecil, sudah tentu tak mudah. Apalagi ketika tak ada mayat, tak ada prosesi pemakaman. Itulah yang kemudian mulai menempel pada benak saya, seperti kemudian muncul dalam cerpen itu:

Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya? Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah…

Begitulah, kisah pun tersusun: saya ingin menuliskan tentang seorang ayah, yang kesulitan menjelaskan kematian ibu pada anaknya yang masih kecil, karena sebagaimana ide dari jatuhnya Adam Air, yang mati itu memang lenyap di lautan. Mayatnya tak pernah pulang ke rumah.

Pertanyaan lain segera menyusul, yang berusaha mencari korelasi atau hubungan yang kuat antara si anak dengan ibunya. Karena, logika dalam hubungan itu mesti kuat: kenapa si anak merindukan ibunya (yang mendadak tak pulang ke rumah)? Mesti ada ikatan khusus, atau hubungan batin tertentu, yang membuat si anak benar-benar merasa kehilangan. Atau, kehadiran si ibu selalu menjadi sesuatu yang penting bagi si anak, hingga ketika ia tak ada, si anak merasa benar-benar kehilangan. Apakah si ibu suka mendongengi si anak? Ah, terlalu sering. Atau apa?

Di sini saya merasa gagal menemukan kunci jawaban untuk menyelesaikan hubungan itu. Dan kisah ini pun mengendap, lama dalam kepala saya. Sesekali menggoda, tetapi tetap tak bisa saya tuliskan, karena saya belum bisa menemukan logika yang memperkuat hubungan si ibu dan anak itu.

Saya mungkin melupakan ide itu kalau saya tak takut naik pesawat. Setiap kali naik pesawat, saya selalu mebayangkan jenazah saya akan lenyap begitu saja. Begitu pun ketika terbang menuju Singapura, ketakutan itu begitu kuat. Tapi bersamaaan dengan ketakutan itu, munculah sosok ibu dalam cerpen yang ingin saya tulis itu: ia adalah seseorang wanita yang selalu bepergian naik pesawat, jauh ke banyak negeri. Nah, di sini saya menemukan peluang: ada sesuatu yang khusus yang mewakili ibu itu, bila ia bepergian berhari-hari atau berbulan-bulan, sesuatu yang menandai kehadirannya buat si anak. Mungkin ia selalu membawakan oleh-oleh bila singgah di satu kota. Tapi ini biasa banget, ya? Apalagi kalau oleh-oleh itu semacam mainan atau boneka. Lalu apa?

Saat berjalan-jalan, saya melihat kedai yang menjual kartu pos. Bohlam terang segara menyala dalam kepala: ini dia, kartu pos! Setiap bepergian, setiap singgah di suatu tempat, si ibu itu selalu mengirim kartu pos buat anaknya! Kartu pos itu menjadi susuatu yang khusus, yang selalu dinanti oleh anaknya. Saya pun seperti menemukan jalan terang untuk segera menyelesaikan.

Ketika di hotel, saya pun segera menuliskannya. Tapi saya segera menghentikan. Saya merasa terganggu, justru oleh kartu pos itu. Kenapa kartu pos? Hari gini, kok masih pakai kartu pos? Latar pesawat jatuh, akan mengingatkan bahwa kisah ini adalah ‘hari ini’, bukan jaman dulu, jaman ketika kartu pos masih menjadi sesuatu yang istimewa. Sekarang kartu pos sudah antik, jadul, tergantikan SMS dari handphone. Maka kartu pos, justru akan menjadi cacat cerita bila saya paksakan. Saya harus lebih dulu menemukan rasionalisasi kisah seputar begitu penting dan berartinya kartu pos itu…

Maka, sebelum saya bisa menjawab pertanyaan itu, saya pun tak melanjutkan kisah itu. Ia tersimpan dalam file flashdisk saya. Tapi mungkin ide itu memang benar-benar ingin dituntaskan. Meski tenggelam dalam kesibukan, ide itu sesekali menggelitik, seperti minta perhatian. Dan ketika membuka catatan-catatan lama di buku notes saya (yang sudah lecek), saya menemukan iventarisasi judul-judul cerita yang pernah saya tulis dalam buku berwarna cokelat itu. Sekadar memberi tahu, saya memang suka mencatat judul-judul yang saya kira menarik. Judul itu saya tulis, saya simpen, meski saya belum tahu itu berkisah tentang apa. Nah, ketika membuka notes kumal itu, saya menemukan judul “Kartu Pos dari Surga”.

Membaca judul itu, saya kembali diingatkan untuk memikirkan kembali struktur cerpen itu. Setidaknya, kini judul sudah ketemu. Bayangan kisah sudah ada. Tokoh-tokoh sudah ada. Apalagi yang kurang?

Karena pada dasarnya saya ingin menulis kisah dengan “nada dasar realis”, maka koheresi antartokoh dan semua elemen harus utuh dan padu. Mesti ada hubungan yang ‘realistik’ dan ‘logis’, agar kisah menjadi meyakinkan. Maka saya memang harus segera menyelesaikan persoalan kartu pos itu: apa pentingnya bagi tokoh-tokoh itu? Lalu kenapa kartu pos? Karena kan lebih praktis menelpon anaknya bila bepergian?

Maka, ketika desakan untuk menuliskan kisah itu begitu kuat, saya segera chatting dengan seorang kawan yang suka dengan kartu pos. Saya tanya koleksi katu pos yang dia punya, dan segala macam. Dari situlah, saya mulai memberi nama tokoh ibu, Ren. Ia, tokoh dalam cerpen itu, memang punya pengalaman yang khusus dengan kartu pos: sewaktu kanak-kanak bapaknya yang pelaut mengiriminya kartu pos. Ini dia kunci untuk menjawab posisi simbolik kartu pos itu. Makanya, latar belakang tokoh sudah bisa menjelaskan kenapa ia, Ren, selalu mengirimkan kartu pos buat anaknya.

Ada satu peristiwa yang juga menolong saya, yakni berita soal penculikan anak, yang marak. Saya membaca berita: ada satu sekolah, yang karena takut anak didiknya diculik, mengharuskan anak-anak itu membawa handphone, agar bisa dihubungi sewaktu-waktu. Lalu saya pun membayangkan, si tokoh anak, yang kemudian saya beri nama Beningnya, memang punya handphone, tetapi itu lebih karena ketakutan akan peristiwa penculikan. Jadi, handphone itu bukan “media komunikasi utama” antara Beningnya dan ibunya, Ren. Karena yang mengikat secara batin antara Beningnya dan Ren adalah “kartu pos-kartu pos” yang dikirimkan itu. Itulah pentingnya kartu pos itu bagi Ren dan Beningnya.

Maka pada suatu malam di awal September 2008, saya pun mulai menulis cerpen “Kartu Pos dari Surga” dengan yakin. Saya mengetiknya lancar. Tetapi kemudian sangsi: judul itu sudah mengisyaratkan kematian. Kata ‘surga” sudah langsung membawa imajinasi pembaca bahwa semua ini adalah cerita tentang seseorang yang mati. Ini akan menjadi persoalan besar bila saya tak mampu mengatasi. Ending yang sudah ditebak pembaca, akan menjadi tak menarik.

Inilah persoalannya: saya harus menemukan ending yang bisa menghentak, agar pembaca yang sudah tahu atau bisa menebak, tetap terpesona.

Bila pembaca kira-kira sudah bisa menebak, maka kita harus melalukan siasat – itulah teorinya. Semacam tekhnis, agar pembaca berfikir atau menduga yang lain juga. Ini penting dalam alur, agar kita bisa menyiapkan kejutan. Tekhnis seperti itu segera saya pakai di bagian tengah cerita: dengan mengintrodusir kemungkinan perselingkuhan. Artinya, pembaca diberi kemungkinan lain, jangan-jangan Ren pergi meninggalkan Beningnya bukan karena mati, tetapi karena pergi dengan laki-laki lain, seperti yang saya isyaratkan dalam adegan ini:

“Bilang saja Mamanya pergi…” kata Ita, teman sekantor, saat Marwan makan siang bersama.

Marwan masih ngantuk, karena baru tidur menjelang jam lima pagi, setelah Beningnya pulas, “Bagaimana kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?”

“Ya sudah, kamu jelaskan saja pelan-pelan yang sebenarnya.”

Itulah. Ia selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan menatap Ita, yang tampak memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah. Beberapa rekan sekantornya terlihat tengah memandang mejanya dengan mata penuh gosip. Pasti mereka menduga ia dan Ita…

Seorang pembaca sempat komentar pada saya soal bagian itu, “Tadinya saya menyangka ini kisah perselingkuhan…” Jadi, secara tekhnis saya berhasil mengecoh. Sebab, bila tidak begitu, maka alur menjadi datar dan lurus. Dan alur semacam itu, sangat tidak menguntungkan bagi ending yang saya siapkan. Untuk sebuah kisah yang bisa diduga, ending memang menjadi sangat-sangat penting untuk diperhatikan.

Itulah sebabnya, saya kemudian ingin memberi sentuhan magis di bagian ending. Ide untuk menulis kisah yang ‘sungguh-sungguh realis’ pun saya singkirkan. Saya berfikir, bila ending diselesaikan dengan realis, ini akan menjadi kisah melodrama keluarga biasa. Maka saya kemudian menyiapkan satu strategi penulisan: sejak awal hingga menjelang akhir saya harus mampu menghadirkan kisah bergaya realis — dengan kata lain, saya harus berhasil meyakinkan lebih dulu konvensi kisah realis itu, agar pembaca terbuai dan hanyut dalam kisah, baru kemudian saya ‘hantam’ dengan eding yang bergaya magis. Relisme mensyaratkan semua elemen itu mendukung untuk sebuah kesatuan (unity) cerita dan suspen. Dan ending yang magis bisa menjadi ledakan yang membebaskan imajinasi dan spiritual pembaca, semacam pengalaman estetis ketika membaca cerpen itu.

Begitulah, saya menuliskannya tak lebih dari dua jam. Malam itu juga saya langsung email ke Kompas. Dua minggu kemudian, 21 September 2008, muncul menjumpai pembacanya. Menjumpai nasibnya sendiri sebagai sebuah karya. Setelah hampir dua tarun mendekam dalam kepala saya.

21 Tanggapan to “– PROSES KREATIF PENULISAN ‘KARTU POS DARI SURGA’”


  1. 1 Kiey Maret 7, 2009 pukul 4:37 am

    Waduh, proses yang berliku tetapi juga matang dan penuh pertimbangan. Tak mengherakan, bila hasil olahannya begitu bagus. Endingnya memang membuat saya bergidik: ngeri sekaligus haru… Saya pasti akan pilih cerpen Kartu Pos dari Surga sebagai cerpen terbaik Pena kencana kali ini. Yang lain masih sibuk dengan persoalan estetis, rumit, tetapi tak menyentuh sebagai karya sastra.

  2. 2 arya Maret 13, 2009 pukul 6:17 pm

    wah, menginspirasi. bisa jadi tips kalau menghadapi writer’s block 😀 salam kenal mas.

  3. 3 agusnoorfiles Maret 13, 2009 pukul 6:51 pm

    salam kenal juga…

  4. 4 muhamadmuiz April 6, 2009 pukul 4:15 pm

    waduh, bikin satu cerpen saja lama bener ya…
    Masih ingatkah dikau denganku?

  5. 5 Jagad-Kahiyangan Juli 6, 2009 pukul 9:54 pm

    aku ikut baca lho.
    hehehehe…….
    jadi pengin ikut nulis nich aku, soalnya udah lupa ‘nari’ sich ….
    bukannya lupa dink…..
    ‘Karya-Pertunjukan’ selalu makan ‘korban’ tak sedikit,
    tapi ini bukan bentuk frustasi lho…. hanya ng-‘pending’ ajah — mudah-mudahan — suatu saat mampu …. mewujudkannya.
    Selamat ya dach masuk nominasi.

    salam dari kami — “SALAM-BUDAYA”

    (Jagad-Kahiyangan)

  6. 6 Fajar S Pramono Agustus 1, 2009 pukul 11:25 pm

    Hehe… saya baru baca cerpen Panjenengan ini di Cerpen Kompas Pilihan 2008. Smokol.

    Bagi saya, itu pilihan yg “salah”, karena saya membacanya pas malam Jum’at, tengah malam, di ruang baca favorit saya di bagian belakang rumah : WC! (sorry… hehe).

    Ketika malam Jum’at “menuntut” ketenangan, saya justru menjadi begidik tepat di ending cerpen Panjenengan. Apalagi ibu saya sudah meninggal lebih sepuluh tahun yang lalu.

    Kerasa sekali sentuhan magis itu. Dalem. Efeknya : menyadarkan. Bahwa ibu –yang sudah meninggal sekalipun– tak pernah tak hadir untuk kita. Untuk saya khususnya.

    Mas Agus, ini cerpen yang bagus sekali. Saya suka sekali.

    Di luar itu, tampaknya Panjenengan akan semakin “terkenal” sebagai penulis spesialisasi (seputar) kartu pos! Haha!

    Sukses terus ya, Mas!

  7. 7 agusnoorfiles Agustus 2, 2009 pukul 11:39 am

    Terimakasih, salam juga buat kamu…

  8. 8 deni oktora Agustus 12, 2009 pukul 7:37 am

    halo mas agus. saya membaca karya mas di blog yang memuat kumpulan cerpen kompas. disitu saya sangat terharu membaca dua cerpen mas Agus. yang pertama tentu saja kartu pos dari surga, sungguh cinta yang luar biasa antara ibu dan anak bisa menghantarkan kita ke dunia yang “beyond belief”.

    dan yang kedua adalah mawar di tiang gantungan. berhubung saya seorang Nasrani saya sangat terharu ketika Yesus (dalam persepsi saya) mau datang dan mengambil mawar dari tiang gantungan. sungguh adegan ini membuat sangat saya bergidik karena besarnya kasih Yesus itu sendiri. ditambah memang di bible ada ayat yang menceritakan dimana Yesus menolong seorang pelacur yang hendak di rajam dengan batu hingga mati (karena merupakan hukum Yahudi saat itu dalam talmud yang diberlakukan bagi seorang pelacur) namun Yesus menghentikannya dan menyelamatkan gadis tersebut.

    dimana saya bisa membeli buku karya mas agus? baik novel atau cerpennya?

    apakah di gramedia masih ada?

    bisa kirim ke email saya mas di deni.oktora@yahoo.com

  9. 9 Diah September 10, 2009 pukul 9:58 am

    Saya nggak baca cerpennya secara utuh, padahal jadi penasaran, segimana bagusnya sih cerpen itu jika dibaca lengkap (secara… saya nggak berlangganan Kompas. hehehe…). Mengingatkan kembali pada paman dari ibu saya yang turut meninggal dalam kecelakaan pesawat Adam Air 1 Januari 2007. Semoga Allah menerima amal ibadah beliau. Amiin.

  10. 10 agusnoorfiles September 11, 2009 pukul 8:57 am

    Cerpen Kartu Pos dari Surga aku postingkan juga kok di blog ini, atau kamu bisa browsing cari cerpen itu, bertebaran di banyak lawan sastra juga setahuku. Saya ikut berduka dan berdoa untuk pamanmu, semoga diberi tempat terindah di surga

  11. 11 ummuhani Oktober 1, 2009 pukul 1:17 pm

    salam, saya adalah penulis dari Malaysia. Terima kasih, pengalaman saudara memberi ilham pada saya berkarya.

  12. 12 agusnoorfiles Oktober 1, 2009 pukul 6:52 pm

    terimakasih Ummuhani. Sedang bisa bersapa lewat dunia maya dengan saudara. Sukses selalu untuk saudara. Saya ada niatan datang di perhelatan Pesta Penyair Nusantara pada 20-22 November 2009 di Malaysia. Kawan SM. Zakir telah memberitahukan acara itu pada saya. Semoga saya bisa datang, dan kita bisa ketemu..

  13. 13 kirana Oktober 15, 2009 pukul 10:50 am

    I read the story. It’s beautiful. Keep on fire!

  14. 14 gauzal Maret 24, 2010 pukul 2:33 am

    Mas Agus hari ini sudah nambah fans baru yaitu saya. Terima kasih telah membagi kisah ini 🙂

  15. 16 Niken Sarasvati Devi April 2, 2011 pukul 9:57 am

    Mas, kumcer Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia saya jadikan objek penelitian penulisan skripsi saya….
    Mohon bimbingannya, hehehe

  16. 17 yana Mei 29, 2011 pukul 5:11 am

    cerpennya bagus…endingnya bener2 buat merinding…padahal aku bacanya malam minggu…hehe

  17. 18 Nininxchiie Misaclaluusakkit Nyenyerieund Februari 18, 2012 pukul 6:04 am

    maaf mas, saya seorang mahasiswa satra yang di tugaskan mengkaji sebuah prosa piksi..
    dan saya memilih mengkaji cerpen yang anda tulis dalam blog.??
    bolehkah saya mengenal mas untuk menyusun biografi pengarang.??

    *terimakasiih

  18. 20 Bambang Heru Oktober 31, 2015 pukul 6:23 am

    Ada tragedy pesawat nasional 1990 hilang yg sampai hari ini belum ditemukan, di Bintuni Papua. Saya terlibat dalam pencarianya, penuh tragedy juga, sudah saya tulis cuma belum pede untuk mengeluarkanya. Akankah pesawat itu ditemukan bersamaan dengan terbakarnya hutan perawan yang masih mendekap ? Akan diungkap asap?


  1. 1 Muncul Ide, Langsung Tulis: Melatih Diri Jadi Penulis Hebat – ANAK MUDA INDONESIA Lacak balik pada November 20, 2017 pukul 7:37 am

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s




Point your camera phone at the QR code below : qrcode enter this URL on your mobile : http://buzzcity.mobi/agusnoorfiles
Maret 2009
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031  

Archives Files

Catagories of Files


%d blogger menyukai ini: